JAKARTA (UNAS) – Sekolah Pascasarjana meluluskan doktor perempuan pertama di bidang ilmu politik, Jumat (31/3). Doktor tersebut adalah Irma Indrayani yang baru saja menyelesaikan sidang terbuka promosi doktor di hadapan para penguji dengan judul disertasi ‘’Kontestasi Kepentingan Dalam Industri Pesawat Terbang Di Indonesia Pasca Orde Baru : Studi Kasus Pengembangan PT Dirgantara Indonesia.’’
Irma mempertahankan disertasinya di hadapan tujuh (7) penguji, yang diketuai Prof. Dr. Iskandar Fitri, S.T., M.T. Penguji lainnya adalah Prof. Maswadi Rauf, M.A, Prof. Dr. Nazaruddin Syamsuddin, Dr. TB. Massa Djafar, Dr. Syarif Hidayat, Dr. Irman G. Lanti dan Dr. Ing. Ilham Akbar Habibie.
Dalam presentasinya Irma mengungkapkan bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan membutuhkan sarana transportasi yang dapat mendukung sirkulasi nasional untuk kelancaran distribusi barang dan jasa maupun mobilitas orang. Namun, industri pesawat terbang jalan di tempat pada periode Pasca Orde Baru. Hal ini karena peran teknokrat dan teknolog pada konteks kebijakan pengembangan industry pesawat terbang telah bergeser menjadi kepentingan elite.
Berangkat dari permasalahan tersebut, disertasi ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana implikasi pelaksanaan LoI Indonesia-IMF dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk menghentikan bantuan keuangan kepada IPTN, apakah kontestasi orientasi pemikiran nasionalis dan orientasi pemikiran liberalis memiliki pengaruh signifikan dalam merumuskan kebijakan pembangunan industri pesawat terbang nasional pada awal periode pasca orde baru serta bagaimana kepentingan ekonomi-politik elit pasca orde baru berpengaruh terhadap kebijakan pengembangan industri pesawat terbang.
Menurut Irma, LoI Indonesia-IMF memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap keberlangsungan industri pesawat terbang Indonesia ada periode pasca Orde Baru. Implementasi dari LoI di bidang fiskal adalah keluarnya instruksi presiden nomor 3 tahun 1998 yang termasuk dalam salah satu kebijakan ekonomi paket reformasi yang konsekuensinya adalah terhentinya bantuan keuangan kepada IPTN. Komitmen untuk melaksanakan LoI Indonesia-IMF berlanjut pada era kepemimpinan pasca Orde Baru .
‘’Penunjukan Habibie sebagai Kepala Negara pertama pada periode Pasca orde baru mengakibatkan kebijakan pengembangan industri pesawat terbang berada pada titik terendah dalam sejarahnya. Karena, sebagai presiden prioritas Habibie tidak lagi sebagai teknolog yang bertujuan untuk membangun industri pesawat terbang nasional,’’ tegas Irma.
Faktor lain yang membuat industri pesawat terbang Indonesia jalan di tempat adalah karena tidak adanya dukungan terhadap orientasi pemikiran nasionalis. ‘’Pemikiran nasionalis yang berpikir bahwa Indonesia harus mampu memproduksi pesawat terbang sendiri sebagai wujud kemandirian bangsa kurang didukung, yang ada adalah pemikiran liberalis yang menyatakan bahwa belum saatnya Indonesia menjadi negara produsen pesawat terbang dan lebih baik membeli pesawat dari luar karena lebih murah ketimbang memproduksi pesawat sendiri yang biayanya lebih mahal,’’ ungkap Irma.
Irma merupakan doktor di bidang Ilmu Politik keempat yang diluluskan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional. Sebelumnya Sekolah Pascasarjana Program Studi Doktoral Ilmu Politik telah meluluskan Doktor Dumiri, Umar Basalim dan Sumantri.
Bagikan :