JAKARTA – Universitas Nasional bersama dengan The American Indonesian Exchange Foundation menyelenggarakan lokakarya internasional yang bertemakan “Engaging Conservation Difference: Communities, Science, and Customary Right In Indonesia”. Acara yang digelar di Menara Unas 1 lantai 3 ini berlangsung selama dua hari yaitu pada 6-7 Juli 2017 dan dihadiri oleh sedikitnya 30 peserta yang berasal dari instansi berbeda. Para peserta yang hadir terdiri dari peneliti-peneliti dari Departement of Anthropology, staf LSM, professor universitas, dan mahasiwa – mahasiwa pascasarjana dari berbagai universitas di Indonesia.
Seluruh peserta yang hadir tak hanya menyaksikan presentasi dari para event organizer seperti: Dr. Jito Sugardjito, Dr. Wendy Erb, Florence Durney, Walker DePuy, serta Jonathan McLeod. Mereka juga diberi kesempatan untuk menyampaikan ide, aspirasi, dan pendapat mereka mengenai konservasi di Indonesia dalam forum grup diskusi. Lokakarya yang berlangsung dari pukul 08.00 s/d 16.00 WIB ini dibuka dengan foto bersama dan sambutan dari wakil direktur sekolah pascasarjana Universitas Nasional, Dr. Firdaus Syam, MA.
Dalam kajiannya Dr. Jito Sugardjito, selaku Office of International Cooperation Universitas Nasional menyatakan bahwa Indonesia terletak diantara dua benua yaitu benua Asia dan Australia, itulah yang membuat Indonesia istimewa dan para scientist banyak yang meneliti di Indonesia karena batasnya strategis untuk dijadikan objek penelitian. Menurutnya, peran Universitas sangatlah penting untuk melahirkan peneliti – peneliti baru yang ahli dalam bidangnya, dikarenakan bahwa jumlah peneliti di Indonesia sangat krisis yaitu hanya 90 peneliti dari 1 juta penduduk. Beliau juga menyinggung soal kawasan hutan di Indonesia yang mengalami penurunan drastis sejak tahun 1950-an, pengurangannya hampir 2 juta hektar dalam setahun.
Lain halnya yang disampaikan oleh Wendy M. Erb selaku bagian dari Departement of Anthropology, Rutgers University, Fulbright Senior Scholar. Wanita yang bekerja sebagai peneliti primata Universitas Gadjah Mada inipun mengungkapkan, Indonesia merupakan negara di Asia yang mempunyai jumlah primata tertinggi. Namun, dari 500 jenis primata diantaranya 60% terancam punah dan 75% populasinya sudah berkurang. Hal tersebut diakibatkan oleh beberapa fakor ungkapnya, diantaranya orang suka berburu primata dan dijadikan peliharaan, logging, dan indonesia menjadi salah satu produsen pertanian terbesar yang mengakibatkan terganggunya habitat primata.
Acara yang dipelopori oleh kolektif ilmuan Fulbright ini, bertujuan untuk membuat diskusi atau percakapan seputar tema workshops dan mempertimbangkan bagaimana menavigasi beragam tantangan yang muncul diantara konservasi, masyarakat, dan hak adat di berbagai kasus dan lanskap di Indonesia. Selain itu, membangun kemitraan juga merupakan tujuan mendasar dari program Fulbright ini. Dan dalam semangat inilah lokakarya ini berusaha untuk mendorong hubungan multilateral antara ilmuwan, praktisi, dan anggota masyarakat, serta memajukan diskusi tentang bagaimana menyusun secara kolaboratif program konservasi di Indonesia.
Salah satu event organizer Dr. Wendy M. Erb mengatakan harapannya setelah adanya acara ini ada dua. Yang pertama jangka pendek, yaitu membuat komunitas kelompok yang kira-kira setuju dengan aturan untuk konservasi masa depan, dan dalam kelompok itu semua orang dapat berbagi ide, pengalaman, mencari sumber dan informasi, juga memdapatkan saran. Dengan adanya kelompok tersebut maka konservasi di indonesia dapat berinteraksi antara berapa stakeholder. Wanita yang sedang melanjutkan studinya di Jogjakarta itu berharap, para peserta dapat mengambil cerita dan pengalaman yang dibagi dalam diskusi ini, dan membawanya dalam hati dan otak lalu melanjutkan kegiatan dengan pespektif yang lebih luas.
Bagikan :