JAKARTA ( UNAS) – Dikutip dari www. SwaraSenayan.com. Ketua Program Doktor Ilmu Politik UNAS Dr. TB. Massa Djafar, M.Si, turut memberikan tanggapannya perihal Pidato Gubernur Jakarta Anies Baswedan yang disampaikannya pada saat pelantikan di Istana Negara Senin ( 16/10). Massa Djafar pun mencontohkan bagaimana Mahatir Muhammad, PM. Malaysia yang dikenal dengan New Economic Policy (NEP) yaitu sebuah kebijakan afirmasi politik ekonomi, untuk meningkatkan kesetaraan kaum pribumi melayu dengan etnis cina. Policy afirmatif Mahatir ini dikecam habis-habisan karena dianggap rasis dan diskriminatif.
Mahatir tidak pernah surut. Salah satu argumen Mahatir, keberpihakan pemerintah atau negara adalah suatu keharusan, untuk mewujudkan rasa keadilan. Karena pada masa kolonial Pribumi disisihkan. Sementara etnis cina mendapat perlakuan istimewa. NEP adalah bentuk keberpihakan negara atas ketidak adilan masa lalu (zaman kolonial), ungkap Massa Djafar Jakarta (18/10).
Sebab, menurut Massa Djafar, pembiaran terhadap ketimpangan dan kesenjangan justru sangat berbahaya, karena setiap saat akan menjadi bom waktu. Konflik sosial berdarah 1967, antara etnis melayu dengan etnis cina sangat mengerikan.
Karena itu, argumen Mahattir punya pijakan yang sangat kuat. Ia tidak pernah surut, malah ia menantang kepada pihak-pihak yang menentang kebijakan tersebut. Hasilnya, dalam 30 tahun terjadi perubahan, keseimbangan antara pribumi dan non pribumi. Pada titik ini justru integrasi nasional Malaysia lebih kokoh. Bahkan koalisi pemerintah dalam Barisan Nasional justru semakin kuat dan stabil. Karena di dukung Partai Etnis Cina dan India.
“Pengaruh politik NEP bagi kaum Melayu luar biasa. Kegagalan Anwar Ibrahim memperoleh dukungan politik dari Bumi Putra, Melayu, karena ia ingin mencabut NEP. Ini sebagai kampanye politik Anwar Ibrahim yaitu politik Malaysia tanpa diskriminasi,” kata Massa.
Dengan melakukan review terhadap kebijakan NEP tersebut, Massa Djafar menilai bahwa pidato Anies Baswedan yang mengetengahkan identitas Pribumi dalam bingkai ‘politik keadilan’ bukanlah ‘politik rasis’.
“Pidato Anies sudah tepat. Karena yang disampaikan itu adalah Politik Keadilan, itu bukan Politik Rasis. Apalagi didukung argumen-argumen yang bernas. Anies harus mampu menunjukkan karakternya, ia memang beda dengan Ahok. Keadilan tidak sekedar jargon, tapi harus diwujudkan,” jelas Massa.
Jargon kebangkitan Pribumi yang diusung Anies ini menurut Massa adalah manifestasi dari keberpihakan pemimpin kepada rakyatnya. Massa juga meminta kepada Anies agar tetap ramah pada Investor, iklim investasi tetap terjaga tapi bukan dengan menggadaikan aset negara dengan mengabaikan hak-hak rakyat.
Kalau Anies mampu menjaga ritme politik keadilan yang diusungnya ini, bukan mustahil Anies pun akan bisa mengikuti jejak Gubernur Jokowi menjadi Presiden.
“Jika Jokowi-Ahok punya peluang untuk menjadi RI 1, maka peluang yang sama juga terbuka untuk Anies. Bukan tidak mungkin. Asal konsisten, tidak sebatas jargon dan slogan kosong,” ujarnya.
Ketimpangan struktural di republik ini diluar akal sehat, meskipun sebagian tidak sependapat, dikatakan sebagai ciri negara gagal (failed state). Tapi secara realistis, tidak bisa dibantah jika kita sekarang ini sedang menuju negara gagal.
Massa menilai, pidato Anies telah menyikapi atas realitas ketimpangan struktual, yang selama ini selalu ditutupi karena alasan rasis atau politik sara. Justru yang diperlukan saat ini, bagaimana ketimpangan struktural itu diselesaikan oleh negara, pemerintah, bukan menutup mata, membiarkan apalagi ikut memberikan kontribusi atas ketimpangan yang terjadi.
“Sudah saatnya para pemimpin yang berpihak kepada rakyat menunjukkan political will nya, integritas politiknya dan integritas kepemimpinannya,” pungkasnya.
Bagikan :