Pendahuluan
Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tanggal 28 Oktober 2019 telah menerbitkan putusan terkait pengujian yang dilakukan Rachmawati Suoekarnoputri terhadap Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.
Dalam amar putusanya, Mahkamah Agung memutuskan bahwa ketentuan Pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum yang menyebutkan bila terdapat dua pasangan calon dalam pilpres, KPU menetapkan pasangan calon yang mendapat suara terbanyak sebagai paslon terpilih bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang mengatur penetapan pemenang pilpres apabila memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pilpres, dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Atas putusan tersebut, banyak pemberitaan dan komentar yang menyebutkan bahwa Putusan MA tersebut membawa implikasi Penetapan dan Pelantikan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin sebagai
Presiden dan Wakil Presiden Terpilih 2019 menjadi tidak sah. namun ada juga yang mengatakan putusan MA tersebut tidak ada pengaruhnya. Kondisi ini menjadi perdebadan dunia politik dan akademik, karena itu perlu diluruskan secara hukum.
Tulisan ini mencoba melakukan kajian terhadap fakta tersebut, karena itu dilakukan penelusuran sumber hukum dan ditemukan beberapa regulasi dan putusan pengadilan yang dapat dijadikan referensi untuk melakukan kajian hukum guna meluruskan perdebatan tersebut. Regulasi dan Putusan Pengadilan tersebut adalah Undang-Undang Nomoe 42 Tahun 2008 Tentang Peilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 50/PUU-XII/2014, tanggal 3 Juli 2014, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XVII/2019 tanggal 30 September 2019, Putusan Mahkamah Agung No. 44P/HUM/2019, tanggal 28 Oktober 2019 dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih.
Tafsir MK dalam Putusan No. 50/PUU-XII/2014, tanggal 3 Jui 2014
Putusan MK ini menguji ketentuan Pasal 159 ayat (1) menyatakan bahwa “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia”.
Terhadap pengujian materi Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden terkait syarat sebaran pemenangan pilpres yang diajukan Forum Pengacara Konstitusi Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres inkonstitusional bersyarat sepanjang pilpres hanya diikuti dua pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden, maka ditentukan dengan suara terbanyak,
Putusan ini menafsir dengan berpedoman pada Pasal 6A ayat (3) berbunyi: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemillu dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”.
Ketidaktaatan DPR atas tafsir Putusan MK
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa :
(1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang berisi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
a. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
b. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
c. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
d. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
(2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau PresidenKetentuan tersebut tidak diindahkan DPR ketika menerbitkan UU No. 7 Taun 2017 Tentang Pemilihan Umum dengan memasukan Pasal 416 ayat (1) yang menyebutkan ketentuan yang sama persis dengan Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang pilpres hanya diikuti dua pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. Pasal 416 ayat (1) menyebutkan bahwa : “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia”.
Perbandingan Substansi
Pasal 591 UU No. 42 Tahun 2008 dan Pasal 416 UU No. 7 Tahun 2019
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM
Pasal 159
(1) Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.
(2) Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
(3) Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 (dua ) Pasangan Calon, kedua Pasangan Calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
(4) Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 3 (tiga) Pasangan Calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang.
(5) Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah yang sama diperoleh oleh lebih dari 1 (satu) Pasangan Calon, penentuannya dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjan Pasal 416
(1) Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia;
(2) Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
(3) Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 (dua) Pasangan Calon, kedua Pasangan Calon tersebut dipilih kembali oleh ralryat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
(4) Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 3 (tiga) Pasangan Calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang;
(5) Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumtah yang sama diperoleh oleh lebih dari 1 (satu) Pasangan Calon, penentuannya dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang
Sehingga seharusnya Pasal 461 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 menindaklanjuti putusan MK No. 50/PUU-XII/2014, bukan malah mengembalikan ketentuan semula sebagaimana diatur Pasal 591 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2009.
Kekeliruan Pengaturan Pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5 Tahun 2019
KPU menebitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum, khususnya Pasal 3 ayat (3) yang menyebutkan “Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih.”
Ketentuan ini jika dilihat dari konsideran mengingat merupakan pelaksanaan UU No. 7 Taun 2017 Tentang Pemilihan, akan tetapi subtansi Pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5 Taun 2019 tersebut merupakan tindak lanjut Putusan MK.
Pengaturan Pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5 Tahun 2019 Tentang tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum yang menegaskan bahwa “Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih”, merupakan subtansi yang menerjemahkan tafsir No. 50/PUU-XII/2014, tanggal 3 Jui 2014 atas pengujian Pasal 159 ayat (1) menyatakanPasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.
Terhadap pengujian materi Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) terkait syarat sebaran pemenangan pilpres yang diajukan Forum Pengacara Konstitusi. Mahkamah menyatakan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres inkonstitusional bersyarat sepanjang pilpres hanya diikuti dua pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden.
Putusan MK Nomor 39/PUU-XVII/2019, tanggal 30 September 2019 Menyatakan Pasal 416 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “tidak berlaku untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang hanya diikuti 2 (dua) pasangan calon.
Jika melihat tanggal terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia terkait Pasal 416 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2007, maka MK lebih dahulu menyatakan bahwa Pasal 416 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “tidak berlaku untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang hanya diikuti 2 (dua) pasangan calon.
Maka seharusnya Mahkamah Agung dalam memutuskan pengujian 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum juga mempertmbangan putusan MK tersebut walaupun secara factual pengujian tersebut didasarkan bunyi Pasal 461 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 yang belum diputusnkan MK.
Putusan MK yang bersifat mengikat dapat diartikan bahwa putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak, namun berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia (erga omnes) dan memiliki kekuatan hukum tetap. Hal itu merupakan konsekuensi yuridis untuk menekankan bahwa putusan hakim atau pengadilan wajib ditaati. Putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dipandang dari sudut kekuatannya memiliki kekuataan mengikat yang sama dengan undang-undang.
Terhadap fakta tersebut di atas, Penulis sependapat apa yang disampaikan Mohammad Mahrus Ali dalam tulisnya “Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi yang Bersifat Konstitutional Bersyarat Serta Memuat Norma Baru” menemukan bahwa perlu adanya perhatian khusus berkaitan dengan waktu yang harus dipenuhi untuk segera melakukan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi, tidak ada kejelasan dan kepastian mengenai lembaga mana yang harus berperan diawal untuk menindaklanjuti putusan MK adanya tindak lanjut putusan ttidak bersesuaian dengan penafsiran MK sehingga diperlukan instrumen hukum, antara lain, yang disebut judicial order, yaitu kewenangan MK untuk memerintahkan secara paksa pada addresat untuk melaksanakan putusan MK.
Implikasi Hukum Putusan MA Terhadap keabsahan Pemilihan Presiden Tahun 2019.
Putusan Mahkamah Agung No. 44 P/PHUM/2019 diterbitkan merupakan amanat yang diberikan Pasal 24 A ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945, Pasal 31A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, yang pada intinya menentukan bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lrbih tinggi.
Karena itu ketika Rachmawati Soerkarno Putri, dkk melakukan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum yang menyebutkan “Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih.” Maka secara hukum Mahkamah Agung haruslah melakukan pemeriksaan dan megambil keputusan atas pengajuan pengujian tersebut.
Dalam amar putusanya, Mahkamah Agung memutuskan bahwa ketentuan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Tidak ada yang keliru jika pengambilan keputusan itu didasarkan atas Pasal 416 UU No. 7 Taun 2017 sebagai landasan yang digunakan Pemohon dalam pengujian Pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5 Tahun 2019 tersebut. Karena itu Penulis sependapat dengan Pakar Hukum Tata Negara Prof. Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa : Dalam Putusan itu, MA hanya menguji secara materil Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 apakah secara normatif bertentangan dengan UU di atasnya atau tidak. Putusan itu sama sekali tidak masuk atau menyinggung kasus sudah menang atau belum Jokowi dalam Pilpres 2019.
Selanjutnya Penulis juga sependapat dengan Pakar Tata Hukum Negara dari UGM Dr. Zainal Arifin Muktar bahwa memang ada yang terlewatkan dari Putusan Mahkamah Agung tersebut karena tidak mengunakan 2 (dua) putusan Mahkamah Konstitusi yaitu No. 50/PUU-XII/2014, tanggal 3 Jui 2014 dan Putusan MK Nomor 39/PUU-XVII/2019, tanggal 30 September 2019 yang telah menyatakan bahwa baik Pasal 591 ayat (!) UU No. 42 Taun 2008 dan Pasal 416 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “tidak berlaku untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang hanya diikuti 2 (dua) pasangan calon”;
Walaupun secara procedural KPU memang Lembaga negara tidak berwenang untuk mengatur tindak lanjut atas pertimbangan yang diuraikan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimaan diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Putusan Mahkamah Agung No. 44 P/PHUM/2019 hanya berdampak kepada PKPU No. 5 Tahun 2019 khususnya Pasal 3 ayat (7) dan tidak ada implikasi hukum apapun terhadap proses penetapan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019 karenanya penetapan tersebut tetap sah dan berlaku.
2. Adanya kebebasan hakim yang berlebihan dalam pemeriksaan pengujian Pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5 Tahun 2019 dengan pengabaian Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi yang putusanya bersidat final dan mengikat.
3. Perlunya ketaatan hukum bagi Lembaga-lembaga negara terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dengan tetap memegang prinsip kebebasan hakim dan independesni hakim sebagai pemegang kekuasaan kehakiman.
4. Kecermatan Lembaga negara yang diberikan kewenangan membentuk peraturan dengan mempertimbangkan kewenangan yang melekat dan perkembangan hukum serta yurisprudensi yang ada untuk menghindari kegaduhan dan implikasi hukum yang tidak bermanfaat bagi masyarakat umum.
5. Diperlukan instrumen hukum, antara lain, yang disebut judicial order, yaitu kewenangan MK untuk memerintahkan secara paksa pada addresat untuk melaksanakan putusan MK.
6. Disarankan kepada KPU untuk segera berkoordinasi kepada pembuat Undang-Undang dan Lembaga-lembaga terkait untuk merumuskan dan/atau melakukan perubahan terhadap PKPU No. 5 Tahun 2019 sebagai peraturan tekhnis penyelenggaraan pemilu guna mewujudkan penyelenggaran pemilu yang berkepastian dan berkadilan.
penulis
Dr. Mustakim, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional dan Praktisi Hukum
Bagikan :