Lembaga penyiaran harus bersifat netral, independen, dan memberikan pendidikan politik yang optimal kepada masyarakat. |
Jakarta [UNAS] – Gegap gempita menjelang pesta demokrasi Pemilu 2014 pada bulan Juli mendatang, membuat berbagai media turut ramai menyemarakkan perhelatan yang digelar tiap lima tahun sekali itu. Salah satunya adalah media televisi. Ironisnya, selain menyajikan informasi tentang tata cara pemilihan umum (pemilu), media televisi juga acap kali menyajikan berbagai iklan dan berita yang berisi kampanye partai politik (parpol) atau calon presiden (capres) tertentu.
“Maraknya kampanya para capres atau parpol yang ditampilkan di berbagai media, khususnya televisi, membuat media massa sekarang ini seperti dijadikan alat untuk pencitraan atau pembangunan sosok bagi para capres tersebut. Melalui seminar ini, kita ingin melihat tanggapan dari KPI terkait fenomena tersebut, apakah ditindak lanjuti atau hanya dibiarkan begitu saja,” ungkap Taufik Hidayat, selaku Ketua Pelaksana seminar jurnalistik. Keresahan inilah yang kemudian melatarbelakangi diadakannya seminar jurnalistik dengan tajuk “Kawal Pemilu : Media Televisi di Tengah Kepentingan Politik dalam Pemilu 2014”, pada hari Selasa (13/5) di Aula Blok 1 Universitas Nasional. Seminar yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (HIMAKOM) ini mengundang beberapa pembicara di antaranya Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Azimah Subagio, M. Si., Pengamat Penyiaran, Dr. Ade Armando, M. Sc., Pemerhati Internal yang juga merupakan Dosen Unas, Sekarwati, M. Si., dan Sekretaris Redaksi Metro TV, Edi Hidayat. Menurut Azimah, media harusnya bersikap netral dan menjadi penyambung lidah publik sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2002 pasal 36 ayat 1, yaitu isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Namun pada prakteknya, stasiun televisi seringkali menampilkan iklan atau berita yang sifatnya membangun citra terhadap golongan tertentu atau juga membongkar citra lawan politik suatu golongan. Bahkan menjelang pemilu 2014 ini, banyak media yang menayangkan iklan kampanye parpol atau capres tertentu di luar waktu yang telah ditetapkan. “KPI telah memberikan sanksi ke sejumlah stasiun televisi yang menayangkan iklan kampanye sebelum masa kampanye, tapi masih banyak stasiun televisi yang melanggar meski telah diberi sanksi,” papar Azimah. Sikap media ini dinilai KPI akan memberi pengaruh yang cukup besar dalam pembentukan opini masyarakat. Menanggapi paparan Azimah tersebut, Edi membantah bahwa media televisi berperan besar dalam membentuk opini masyarakat terkait dengan parpol atau capres tertentu dalam Pemilu 2014. “Masyarakat masa kini telah mempunyai kedewasaan dalam menyaring dan memilih produk-produk yang disiarkan oleh televisi. Hal ini dapat dilihat pada saat pemilu legislatif (pileg) kemarin. Iklan televisi tidak terlalu berandil besar dalam hal ini,” pungkas Edi. Meski sejumlah parpol gencar melakukan kampanye di media massa, tapi persentase perolehan yang dicapai parpol tersebut dalam pileg nyatanya tidak mengalami peningkatan yang signifikan. “Data menunjukkan bahwa masih banyak pemilih di Indonesia yang merupakan pemilih loyal atau pemilih setia. Biasanya jika seseorang sudah memilih satu partai, maka tidak mudah baginya untuk mengubah pilihan ke partai yang lain,” ujar Ade, sependapat dengan Edi. Meski demikian, Ade juga tidak setuju jika dikatakan media tidak berpengaruh besar dalam pembentukan opini masyarakat. Menurut Ade, iklan pembentukan citra atau penjatuhan citra terhadap pihak tertentu yang ditayangkan di televisi secara tidak langsung mengubah opini masyarakat terhadap pihak tertentu, yang kemudian bisa berakibat berubahnya pilihan masyarakat dalam pemilu mendatang. Namun, Ade juga mengakui bahwa sebagus apapun iklan yang ditayangkan untuk memberikan citra baik pada golongan tertentu tidak akan mengubah apapun jika realitas golongan tersebut memang tidak baik. Masyarakat akan tetap mengutamakan kuliatas produk dan first branding dalam membuat pilihan. “Apa yang disampaikan oleh media kepada masyarakat, akan menentukan Negara itu menjadi seperti apa,”. Sedang menurut Sekarwati, media juga merupakan pelaku politik karena media berkemampuan untuk mengedit, mengubah, atau mengganti konten yang akan disiarkan pada masyarakat. Dengan demikian peran tokoh-tokoh dalam media menjadi sangat penting dan tak lepas dari tanggung jawab moral yang harus diembannya. “Yang terpenting adalah bagaimana masyarakat atau khalayak bisa berpikir dan bertindak cerdas menanggapi tayangan yang ada di televisi atau media lainnya,” imbuh Sekarwati seraya menutup rangkaian seminar jurnalistik hari itu. (Annisa Sathila, S.I.P ) |
Bagikan :