Jakarta (Unas) – Dilansir dari mongabay.co.id, kawasan Teluk Saleh, Pulau Moyo, dan Gunung Tambora (SAMOTA) ditetapkan sebagai Cagar Biosfer oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 19 Juni 2019 lalu di Paris, Perancis.
Penetapan SAMOTA sebagai cagar biosfer dunia itu menjadi kado terindah bagi Nusa Tenggara Barat (NTB). Pemerintah NTB pun telah menekankan, pembangunan kawasan SAMOTA akan menjadi tanggung jawab semua pihak. Salah satunya ialah peneliti yang dapat membantu mengembangkan riset dalam pembangunan berkelanjutan wilayah SAMOTA dan sekitarnya.
Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Nasional (Unas), Prof. Dr. Ernawati Sinaga, M.S., Apt. mengatakan, SAMOTA merupakan kawasan yang penting untuk dilakukan pembangunan ekonomi berkelanjutan dan konservasi. Kekayaan alam dan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut memiliki manfaat jangka panjang yang sangat besar bagi Indonesia.
“Ini merupakan tugas kita semua, peneliti dan juga akademisi, berkolaborasi dengan pemerintahan setempat di SAMOTA untuk melakukan manajemen, serta pembangunan berkelanjutan cagar biosfer di dunia. Kira-kira kebijakan dan rekomendasi apa yang bisa diterapkan untuk menjaga ekosistem wilayah SAMOTA,” ujarnya dalam Workshop Virtual ‘SAMOTA Towards Stakeholders Engagement and Sustainable Management’ Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Unas, Rabu (11/11).
Senada dengan hal tersebut, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) Prof. Dr. Arief Rachman, M.Pd. mengatakan, pengembangan cagar biosfer sendiri penting dilakukan guna mencegah hilangnya keanekaragaman hayati di wilayah tersebut. Cara yang bisa dilakukan salah satunya ialah dengan pengembangan ilmu pengetahuan, serta melibatkan para pemangku kepentingan dalam pengelolaan berkelanjutan.
“Hal serupa yang dapat dilakukan seperti pengembangan komunitas konservasi keanekaragaman hayati dan dukungan logistik, tindakan kolaboratif dari pemangku kepentingan akan pentingnya kesadaran terhadap lingkungan, serta memasukkan konsep cagar biosfer ke dalam kebijakan dan rencana strategis nasional dan daerah,” tuturnya dalam workshop tersebut.
Senior Programme Specialist for Water and Environmental Sciences UNESCO, Hans Thulstrup menerangkan, upaya kolaboratif mengembangkan kawasan SAMOTA dapat dilakukan dengan riset ilmu pengetahuan dan tata kelola partisipatif. “Hal ini juga bisa membantu mengurangi hilangnya keanekaragaman hayati, meningkatkan mata pencaharian dan ekonomi masyarakat lokal, meningkatkan kondisi sosial, juga ekonomi dan budaya untuk kelestarian lingkungan,” jelasnya.
Ia melanjutkan, UNESCO sendiri pun telah mengusung Man and the Biosphere (MAB) Program guna melakukan program ilmiah antar pemerintah untuk menjaga dan meningkatkan hubungan manusia dengan lingkungan. Selain itu, juga fokus pada pembangunan berkelanjutan dan perlindungan alam yang didukung dengan penelitian dan pendidikan.
Dalam kesempatan yang sama, Professor dari Universitas Tokyo, Jepang, Prof. Kunio Iwatsuki mengatakan, diskusi dan riset bersama perlu sering dilakukan karena menjadi hal yang penting guna menghasilkan visi dan tujuan bersama dalam upaya pembangunan. Ia juga berharap, pelestarian alam di Indonesia khususnya SAMOTA sebagai cagar biosfer dunia dapat memanfaatkan teknologi yang ada.
“Saya berharap para peneliti, dan rekan-rekan yang masih muda dapat membuat teknologi yang lebih baik untuk membantu melestarikan alam, khususnya pada kali ini adalah kawasan SAMOTA,” harap Kunio.
Di sisi lain, Professor Universitas Naisonal, Prof. Dr. Endang Sukara Ph.D., mengatakan, riset dalam membantu pembangunan berkelanjutan merupakan tanggung jawab yang perlu dilakukan bagi peneliti. Penelitian tersebut juga dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang konsep cagar biosfer dan pengimplementasiannya.
“Termasuk pula memperkuat komitmen seluruh pemangku kepentingan seperti otoritas pemerintah pusat, provinsi, daerah, akademisi, komunitas ilmiah, LSM, dan masyarakat. Mudah-mudahan Unas bisa terus menjalin kerja sama dengan pemerintah setempat dan diharapkan membuka kunci pembangunan berkelanjutan dengan tujuan kesejahteraan dan kemakmuran rayat SAMOTA,” tandasnya.
Sementara itu, Directorate of Research and Community Service, Ministry of Research and Technology Indonesia, Adhi Indra Hermanu, S.T., M.T. mengatakan, pendidikan tinggi khususnya di tingkat universitas memang wajibkan untuk turut menghasilkan penelitian dan pengembangan. Riset dapat dilakukan dengan berkolaborasi karena memiliki impact yang lebih besar dibandingkan riset individu.
“Ini merupakan salah satu bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi dimana civitas akademika kampus juga perlu turut terlibat dalam upaya penelitian dan konservasi wilayah, berdasarkan dengan permasalahan, kebutuhan, atau tantangan di masyarakat,” kata dia.
Executie Director of The Indonesian MAB-UNESCO Program National Committee, Prof. Dr. Y Puwanto mengungkapkan, dengan adanya kolaborasi, maka dapat memudahkan efektivitas pengelolaan cagar biosfer, serta mengatasi keterbatasan sumber daya manusia dan juga pendanaan.
“Sehingga diharapkan dari kolaborasi tersebut nantinya dapat meningkatkan nilai ekologi, ekonomi, etik, dan nilai instrinsik biodiversity sebagai sistem penyangga kehidupan manusia. Diharapkan pula Indonesia bisa menjadi super power keanekaragaman hayati dunia,” ujarnya.
Kepala Bappeda Provinsi NTB yang diwakilkan oleh Lalu Adi menuturkan, NTB sendiri saat ini telah siap dan bersedia untuk mengambil langkah nyata guna mengimplementasikan konsep cagar biosfer. Hal ini-lah yang mendorong pemerintah setempat untuk menggalakkan program pembangunan berkelanjutan.
“Dengan ditetapkannnya SAMOTA sebagai cagar biosfer dunia, pemerintah NTB pun bersikeras untuk terus merawat, mengelola, menjaga, serta mengembangkan wilayah SAMOTA. Tak hanya itu, pengembangan wilayah ini juga dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak agar dapat berlajalan secara maksimal,” tutupnya.
Kegiatan yang dilakukan secara virtual ini dimoderatori oleh Kepala LPPM Unas, Dr. Ir. Nonon Saribanon, M.Si. dan diikuti oleh banyak stakeholders, peneliti, dosen, dan staff pemerintahan dari NTB. (NIS)
Bagikan :