Fataya Azzahra merupakan alumni Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra yang lulus di tahun 2015. Mahasiswa luar biasa ini, meskipun memiliki keterbatasan fisik, mampu menyelesaikan kuliah di jenjang S1 dan memiliki karya novel yang diketik dengan satu tangan. Kini, anak pertama dari empat bersaudara ini telah melahirkan beberapa novel.
Tulisan ini dibuat pada tahun 2014, saat Fataya meluncurkan novel pertamanya. Atmosfir perkuliahan yang nyaman, dosen yang mendukung serta teman-teman yang selalu mendorongnya untuk berkarya, membuktikan Universitas Nasional merupakan kampus untuk semua kalangan masyarakat yang ingin maju. Ayo, bergerak bersama UNAS!
Jakarta [UNAS] – Setiap orang pasti memiliki hobi dan kesenangannya masing – masing. Namun demikian, tak jarang dari hobi tersebut justru dapat menghasilkan sebuah karya yang mampu menjadi puncak eksistensi dari kompetensi orang tersebut. Contohnya adalah prestasi yang berhasil diukir oleh mahasiswi Fakultas Bahasa dan Sastra, Program Studi Sastra Indonesia Universitas Nasional, Fataya Azzahra. Gadis kelahiran Jakarta, 16 November 1991 ini berhasil meluncurkan novel perdananya berjudul L’amour C’est Toi.
“Sebenarnya ide penulisan novel ini sudah ada sejak lama, dan baru bisa dirilis tahun ini. Rasanya senang dan tidak menyangka. Untuk hobi sendiri saya masih tergantung mood, kadang suka menulis dan suka membaca novel – novel juga,” ungkap Fataya saat ditemui usai peluncuran novel pertamanya yang digelar di ruang Seminar Universitas Nasional, Selasar Lantai 3, Jumat (12/12).
Dalam acara tersebut, mahasiswi Sastra Indonesia angkatan 2010 ini mengundang pakar Filsafat Bahasa yang juga merupakan Dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Unas, Dr. Wahyu Wibowo, M.M dan Penulis Novel “Tanah Air Beta”, Sefriyana Khairil sebagai pembahas. Pada makalah yang berjudul “Kacang yang Tak Pernah Lupa Kulitnya (Catatan Setelah Membaca Novel Pertama Fataya Azzahra)” tersebut, Dosen yang pernah menjadi Dekan Fakultas Bahasa dan Sastra itu mengungkapkan apresiasinya terhadap karya Fataya. “Permintaan Fataya untuk memberi catatan ini tentu harus diapresiasi dengan baik, karena dewasa ini tidak banyak anak muda yang mampu menggunakan pikiran dan sikap etisnya untuk selalu menganggap dosennya sebagai bagian dari kehidupannya,” jelas Wahyu.
Tidak hanya itu, dalam makalahnya, Wahyu juga menuturkan bahwa Fataya membiarkan energinya mengalir jauh dan tumbuh amat baiknya di dalam dunia kreatif, khususnya dunia penulisan novel. Dunia kreatif Fataya, yang didalam novelnya itu amar disarati warna – warni informasi, membuktikan Fataya lebih rajin membaca dan kemudian bertekun di muka laptop daripada membicarakan dosen atau mantan dosennya. “Dalam konteks inilah, Fataya boleh disebut ibarat kacang yang tak pernah lupa pada kulitnya: membaca dan menulis, juga menganalisis dan menafsir, adalah perilaku akademik yang etis yang pernah diperkenalkan oleh dosen – dosennya,” imbuh Wahyu.
Sementara itu, ditemui pada kesempatan yang berbeda, Dosen Fakultas Biologi Unas, Dr. Fachruddin Mangunjaya, M.Si. yang merupakan ayah dari Fataya mengungkapkan haru dan bangganya terhadap karya yang berhasil dihasilkan oleh putri sulungnya. Bagaimana tidak, Dr. Fachruddin menceritakan ketraumaannya yang terjadi pada Fataya 15 tahun yang lalu, dimana putri pertamanya harus mengalami kecelakaan yang mengakibatkan Fataya kehilangan beberapa fungsi dari bagian tubuhnya. “Saya sangat bangga dan tidak menyangka Fataya ternyata mampu memaksimalkan kelebihan yang ia miliki. Jujur saja, dengan apa yang telah terjadi pada Fataya dulu, membuat saya trauma dan sedih, saat kecil dia sangat cerdas bahkan pada mata pelajaran matematika dia selalu mendapat nilai sepuluh. Lalu, kecelakaan yang terjadi membuat dia harus terbaring di rumah sakit, bahkan tidak bisa berbicara hingga tiga bulan dan kami memulai semuanya lagi dari awal. Semakin bertumbuhnya Fataya, saya coba menggali potensi yang ada pada dirinya, karena dia suka membaca dan menulis, maka saya coba untuk mendorong Taya untuk masuk program studi Sastra Indonesia. Alhamdulillah, dengan kegigihannya yang luar biasa, dia mampu menghasilkan karya terbaik dalam kondisinya yang sekarang ini,” jelas Dr. Fachruddin.
Tidak hanya itu, meskipun memiliki konsentrasi yang berbeda dengannya, Dr. Fachruddin juga memperlihatkan kekagumannya terhadap penggunaan bahasa yang mampu dikreasikan oleh Fataya. “Kegigihan dan semangatnya sangat luar biasa. Saya sering melihat Taya menghabiskan waktunya hingga larut malam di depan laptop. Sesekali saya tengok dia, dan dia masih tekun menyelesaikan novelnya, semangat itu yang membuat saya bangga. Keinginan – keinginannya memang dituangkan dalam novel ini, seperti book cafe, hingga pergi ke Paris. Oleh karena itu, saya terus mendukung Taya dan menyemangatinya,” imbuh Dr. Fachruddin.
Selama proses perampungan novelnya, Fataya yang memiliki moto hidup “Jangan melihat ke masa lalu, tapi hadapilah apa yang ada di depan kita? tersebut mengaku bahwa dirinya mempercayai kalimat “Percayalah pada Keajaiban”, sehingga kendala – kendala yang dialami dalam menciptakan karya pertamanya pun tidak membuat Fataya patah arang. “Banyak ngalamin kejadian dimana ide untuk menulis tiba – tiba hilang begitu saja, tapi tidak selalu seperti itu. Alhamdulillah untuk penulisan novel pertama ini saya bisa selesaikan dalam waktu tiga bulan dari Januari – Maret. Untuk gaya penulisan dan bahasa dari novel ini saya banyak terinspirasi dari penulis favorit, Sefriyana Khairil. Sementara itu, yang menjadi inspirasi terbesar saya selama ini, saya ingin seperti papa. Melalui bukunya, papa bisa berjalan ke luar negeri, ke manapun itu. Mudah – mudahan saya bisa seperti papa,” papar gadis yang merupakan putri pertama dari Dosen Fakultas Biologi Unas, Dr. Fachruddin Mangunjaya, M.Si.
Ditemui pada kesempatan yang sama, Ibunda Fataya, Ara juga mengungkapkan rasa bangganya terhadap prestasi yang berhasil diraih oleh putri sulungnya. “Alhamdulillah, Ibu bersyukur sekali memiliki putri seperti Fataya Azzahra dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dia mampu membuktikan kepada keluarga bahwa dia juga mampu menghasilkan karya terbaiknya. Untuk itu, kami selalu mendukung segala keinginannya, cita – citanya dan memfasilitasinya. Saya melihat Fataya itu memiliki semangat yang tinggi, dan dia memang sangat gigih. Padahal, dengan kondisinya tersebut, jujur secara pribadi saya sangat khawatir. Tapi Fataya merupakan anak yang luar biasa, satu kelebihan istimewa yang ia miliki adalah sesibuk apapun dia sedang mengetik dan menyelesaikan tulisannya, jika dia melihat saya melakukan pekerjaan rumah, dia pasti langsung mengambil inisiatif untuk membantu saya, dan kalau semua sudah bersih dan beres, baru dia akan meneruskan kembali mengetiknya,” jelas Ara.
Tidak hanya itu, ibu dari empat orang putri yaitu Fataya Azzahra, Dila, Fanny, dan Aulia ini pun senantiasa menyemangati putri sulungnya untuk terus berkarya dengan meyakinkan bahwa apapun yang menjadi kekurangan Fataya, sesungguhnya itu adalah kesempurnaan yang ada pada diri Fataya. “Ibu selalu berharap agar Fataya selalu sehat dan kuat dalam menghadapi apapun yang ingin dia cita – citakan. Ibu juga berharap agar karya – karya dapat menjadi karya yang besar dan bermanfaat,” pungkas Ara.
Bagikan :