Jakarta (UNAS) – Universitas Nasional bekerjasama dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Yayasan Kehati merilis policy brief atau usulan kebijakan berupa “Mengarusutamakan Bioekonomi di Indonesia”. Policy brief dengan nomor ISSN 2716-4764 ini diterbitkan pada bulan Agustus 2020 lalu dan merupakan intisari dari penyelenggaraan Workshop Nasional Bioekonomi yang diselenggarakan oleh AIPI dan Universitas Nasional di Jakarta pada tahun 2019.
Dalam keterangannya, Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Nasional Prof. Dr. Ernawati Sinaga, M.S., Apt. mengatakan pengarusutamaan bioekonomi seharusnya menjadi prioritas pembangunan di seluruh sektor pembangunan di Indonesia. Sehingga, peran pemerintah sebagai regulator dan fasilitator menjadi sangat sentral untuk mendorong berbagai pihak sesuai latar belakang dan kompetensinya untuk mendulang manfaat dan keuntungan sebesar-besarnya dari sumber daya alam khususnya keanekaragaman hayati Indonesia.
“Pemanfaatan keanekaragaman hayati secara bijaksana dan adil sekaligus dapat diarahkan untuk memberikan kontribusi lebih nyata bagi pencapaian berbagai target Sustainable Development Goals (SDGs),” ujar Prof. Erna.
Ia menambahkan bahwa upaya pengarusutamaan bioekonomi tersebut harus diimbangi dengan meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat tentang arti pentingnya keanekaragaman hayati. Selain itu, katanya, Indonesia juga harus meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia untuk menterjemahkan potensi keanekaragaman hayati menjadi wujud yang lebih nyata melalui kegiatan bioekonomi.
“Pembelajaran tentang keanekaragaman hayati dari tingkat Pendidikan paling dasar hingga Perguruan Tinggi di Indonesia memerlukan inovasi terus menerus agar keanekaragaman hayati tidak lagi bersifat abstrak,” kata Prof. Erna.
Dalam policy brief ini terdapat empat poin pesan utama atas bioekonomi Indonesia yaitu : Pembangunan berkelanjutan melalui pemanfaatan dan pelestarian biofera dan seluruh sumber daya alam yang terkandung di dalamnya diarahkan untuk mengantarkan rakyat Indonesia hidup lebih sehat, lebih produktif, dan lebih sejahtera. Kemudian, Keanekaragaman hayati Indonesia adalah sumber daya alam yang unik dan endemik harus dipelihara, dipelajari, dan dimanfaatkan secara bijaksana di seluruh sektor kegiatan ekonomi berkarakter ramah lingkungan untuk masa depan Indonesia.
Usulan selanjutnya adalah Biosain dan konvergensinya dengan ilmu lain mampu mengubah keanekaragaman hayati menjadi produk baru, pasar baru, dan kemungkinan – kemungkinan baru dalam seluruh sektor kegiatan ekonomi termasuk pangan, obat, energi, dan industri manufaktur berkelanjutan berdampak pada penciptaan lapangan pekerjaan, pengentasan kemiskinan dan perbaikan lingkungan hidup. Dan terakhir adalah Kebijakan pengarusutamaan bioekonomi di seluruh sektor disertai dengan upaya peningkatan kemampuan sumber daya manusia adalah konsekuensi dari komitmen Indonesia meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity, CBD) dengan Undang-Undang No. 05 Tahun 1994, Protokol Cartagena tentang keamanan hayati dengan UU No. 21 Tahun 2004 dan Protokol Nagoya tentang pembagian keuntungan dari pemanfaatan keanekaragaman hayati dengan UU No. 11 tahun 2013.
“Kemitraan strategis pemerintah, akademisi, dan pelaku usaha dalam menghasilkan inovasi yang mengungkap nilai-nilai intrinsik (nilai-nilai yang terkandung dalam keanekaragaman hayati) sangat diperlukan Indonesia. Bioekonomi sarat dengan mata rantai ekonomi dan olehkarenanya mempunyai peluang sangat besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan,” ucap Prof. Erna.
Policy brief ini disusun oleh para ilmuwan AIPI dan beberapa universitas. Mereka adalah Prof. Dr. Endang Sukara (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Universitas Nasional), Prof. Dr. Ernawati Sinaga, M.S., Apt. (Universitas Nasional), Dr. Ir. Nonon Saribanon, M.Si. (Universitas Nasional), Dr. Fachruddin Mangunjaya (Universitas Nasional), Dr. Tatang Mitra Setia (Universitas Nasional), Rony Megawanta (Yayasan Kehati), Riki Frindos (Yayasan Kehati), Mien A Rifai (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia), Muladno (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, IPB University) Daniel Murdiyarso (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, IPB University, CIFOR), dan Jatna Supriatna (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Universitas Indonesia). (*DMS)
Bagikan :