‘’Ini bangsa kita, ini alam kita, ini surga kita. Bagaimana kita bisa tidur nyenyak disaat saudara kita yang lain tengah sesak dengan kepulan asap dari pembakaran hutan liar,’’ ujar Suci Atmoko, siang itu.
JAKARTA ( UNAS) – Menyusuri hutan belantara sudah menjadi makanan sehari – hari bagi wanita kelahiran Jakarta 25 November 1966. Berbekal masa kecil yang tomboi wanita bernama lengkap Sri Suci Utami Atmoko atau yang kerap disapa Uci ini mulai mengenal kehidupan alam liar sejak duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama ( SMP).
Siang itu cuaca tampak mendung saat kami menyusuri ruang demi ruang yang berada di selasar blok III Universitas Nasional. Cahaya matahari tampak menyusup dari sela – sela jendela, bayang – bayang langkah kaki para mahasiswa terlihat jelas melewati ruangan berbentuk segi empat yang penuh dengan komputer. Hari itu Suci tampak duduk santai ditemani laptop dan segelas teh hangat. Gaya bicaranya yang ceplas – ceplos seolah menutupi guratan – guratan keletihan yang nampak jelas di wajahnya.
Bermula dari kegiatan pramuka yang ditekuninya sejak duduk dibangku sekolah dasar, Uci kecil menjelma menjadi seorang anak yang berani dan disiplin. Dengan sedikit berbinar ia pun, menceritakan bagaimana awal mulanya bisa jatuh cinta dengan kerasnya kehidupan alam liar. Bermula dari ajakan sang kakak, Uci yang saat itu tepat berusia 11 tahun diajak untuk menemani sang kakak pergi ke Taman Nasional Ujung Kulon guna melihat dan mengamati bagaimana kehidupan spesies badak disana.Tanpa disangka buah tempaan dan pengalamannya yang pernah aktif di anggota pramuka sejak duduk dibangku Sekolah Dasar membuatnya mudah beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Terhitung sudah 30 tahun lamanya ia telah menghabiskan sebagian hidupnya untuk menjadi seorang peneliti. Kurangnya kontribusi dan sumbangsih dari para peneliti Indonesia inilah yang menjadi salah satu alasannya memutuskan untuk menjadi seorang peneliti wanita Indonesia yang mengabdi untuk habitat dan kelestarian alam. Panas terik hujan badai sering ia rasakan seorang diri, manakala sedang mengamati kehidupan orangutan.
Uci mengaku kalau ia memang sudah jatuh cinta dengan habitat orang utan sejak duduk di bangku kuliah tepatnya semester lima saat ia menempuh pendidikan di Fakultas Biologi Universitas Nasional.
Kala itu tandasnya, sang dosen Dr. Tatang Mitra Setia, M.S.i yang sedang melanjutkan studi doktoralnya mengajaknya untuk ikut meneliti habitat primata orang utan di kawasan Taman Nasional Ketambe Leuser Aceh Barat. Kala itu ia melihat kawanan orang utan yang sedang bergelantungan sembari menyusui bayinya dengan sangat bebas dan nyaman mereka dapat mencari makan dan melanjutkan hidup di kawasan yang sangat jauh dari ancaman predator itu.
Terbayang di benaknya tentang bagaimana nasib primata yang saat ini statusnya telah ditingkatkan dari endangered menjadicritically endangered oleh International Union for Conservation Nature (IUCN) akibat jumlahnya yang semakin menurun di dunia. Demi motif ekonomi, banyak oknum manusia rela membunuh bahkan memutus mata rantai kehidupan orangutan.
Didasari atas keprihatinan itulah, ia lantas memutuskan untuk melakukan penelitian – penelitian yang bertujuan untuk melestarikan kehidupan primata yang saat ini populasinya sudah diambang kepunahan. Tuhan memang tidak tidur, bak gayung bersambut buah kerja kerasnya selama ini menghantarkan ia menjadi satu – satunya peneliti Indonesia yang masuk dalam Nominasi Indianapolis Prize 2017.
Indianapolis Prize sendiri adalah sebuah penghargaan bergengsi tingkat internasional yang melibatkan peneliti – peneliti yang tersebar diseluruh dunia atas dedikasi mereka dalam bidang konservasi hewan. Bermarkas di wilayah Indianapolis Amerika Serikat ajang ini merupakan ajang pencarian bakat dan penghargaan yang paling sulit yang pernah ia ikuti. Selain harus bersaing dengan ratusan para peneliti dari berbagai belan dunia setiap peserta juga diwajibkan untuk membuat junal internasional dimana didalamnya termuat segala macam informasi beserta detail – detail objek yang akan diteliti beserta segalam macam permasalahan dan solusinya.
Dengan sedikit emosional wanita yang menyukai bihun goreng dan gado – gado ini berujar bahwa atas dasar dan alasan apapun perdagangan satwa langka tidak dapat dibenarkan. Kebiasaan segelintir masyarakat Indonesia yang kerap mengoleksi satwa – satwa langka, turut menambah panjang daftar buruknya perilaku manusia terhadap kerusakan alam.
“Dimana bumi dipijak disitulah langit dijunjung. Kapanpun dimanapun kita berada, apapun yang kita lakukan baik buruknya pasti akan ada balasan yang kita terima. Jadi, jika kita masih ingin melihat orangutan, badak bahkan harimau tetap lestari sampai anak cucu kita nanti maka berfikirlah dengan jernih sebelum bertindak gunakan hati nuranimu sebelum bertindak”, tutup Ibu dari Akil Ramadana ini.
Bagikan :