Jakarta (UNAS) – Spesies badak diyakini telah ada di muka bumi sejak 65 juta tahun yang lalu, dengan nenek moyangnya yang disebut Hyrachius Primitive Rhinoceros. Pada masa itu, diperkirakan terdapat 30 jenis badak di dunia.
Pada saat ini hanya lima jenis badak hidup di dunia dan dua spesies diantaranya ada di Indonesia yaitu badak sumatera dan badak jawa yang sama-sama terancam punah. Dan Indonesia merupakan satu satunya harapan dunia untuk pelestarian badak jawa yang masuk ke dalam daftar satwa langka yang dilindungi.
Upaya konservasi badak yang terancam punah pun terus dilakukan seperti pendekatan melalui keagamaan, pemberdayaan masyarakat, serta merawat kelestarian lingkungan agar satwa langka tersebut dapat bertahan hidup. Meskipun, upaya terus dilakukan namun terdapat berbagai tantangan ke depan misalnya masih kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga dan melestarikan satwa langka serta menjaga lingkungan.
Oleh karena itu, diperlukan peran strategis para kelompok agama dan kelompok ekologis dalam upaya pelestarian badak jawa dan pemberdayaan masyarakat. Berangkat dari hal tersebut, Pusat Pengajian Islam Universitas Nasional (PPI Unas) bekerjasama dengan Yayasan Badak Indonesia (YABI) menyelenggarakan diskusi publik hari badak sedunia dengan tema “Kemitraan Strategis Agama dan Ekologi” melalui aplikasi zoom meeting, pada Kamis, (24/9) di Jakarta.
Turut hadir dalam kegiatan ini, Ketua Pusat Pengajian Islam Universitas Nasional Dr. Fachruddin Mangunjaya, Kepala SPTN Wilayah II P. Handeulum Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Ujang Acep. S. Hut, Direktur Yayasan Badak Indonesia Widodo Ramono, Ketua Komisi Fatwa MUI Banten K.H. Abdul Abdul Wahid Sahari, M.A., dan Kepala Bidang Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pandeglang Banten Kemih Kurniadi, S.P.
Dalam pemaparannya, Kepala SPTN Wilayah II P. Handeulum Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Ujang Acep. S. Hut mengatakan ancaman terhadap badak di TNUK masih sangat rentan terjadi. Salah satunya yaitu ancaman dari faktor alam karena lokasi TNUK yang berada di dekat laut yang memungkinkan terjadinya gelombang tsunami.
“Dalam berbagai pertemuan sudah ada pembahasan rencana strategis apalagi ada ancaman terhadap badak dari faktor alam seperti tsunami artinya harus ada upaya penyelamatan dan pelestarian salah satunya melalui second habitat atau pemindahan badak itu sendiri yang memang relatif aman,” ujarnya.
Ancaman selanjutnya, lanjut Ujang, adalah ancaman genetik dimana dari hasil analisa populasi yang dilakukan pada tahun 2019 menyatakan bahwa DNA yang ditemukan banyak badak yang satu garis keturunan indukan.
“Artinya ini juga ancaman terhadap genetik badak itu sendiri jangan sampai badak itu in breeding atau menikah dengan satu keluarganya, Jadi rencana kedepan kita harus melihat badak yang ada di ujung kulon itu secara genetik apakah satu keturunan atau beberapa keturunan indukan,” ucap Ujang.
Ia melanjutkan, upaya TNUK yang dilakukan terhadap perlindungan badak salah satunya dengan pelibatan masyarakat seperti membentuk rhino protection unit yang 50% anggotanya direkrut dari masyarakat. Selain itu, membentuk kelompok Tani Konservasi (KTK) yang tujuannya mengurangi aktivitas di dalam kawasan sehingga masyarakat ikut membantu upaya perlindungan dan pelestarian badak jawa.
“Dan ini harapannya ada stakeholder baik dari pemerintah daerah dan MUI mungkin akan kita coba bersama-sama untuk mensosialisasikan kembali. Mengajak masyarakat terkait tentang fatwa satwa langka yang harus kita upayakan jangan sampai masyarakat terus melakukan aktivitas ilegal di TNUK,” katanya.
Senada dengan Ujang, Direktur Yayasan Badak Indonesia Widodo Ramono menyatakan bahwa masih adanya ancaman terhadap populasi badak jawa. Ancaman tersebut datang dari perburuan ilegal, persaingan dengan satwa liar dalam mencari pangan, adanya penyakit menular dan invasi tumbuhan langkap.
“Selain itu, juga adanya risiko alamiah yang dapat mengancam badak kita sehingga badak itu perlu perlindungan dan dimonitor,” jelas Widodo.
Sementara itu, masalah lain terjadi pada ketersediaan pakan badak yang semakin minim. Hal itu terjadi karena adanya satwa lain seperti banteng yang pakannya serupa dengan badak. “Oleh karena itu, YABI bersama dengan masyarakat melakukan upaya-upaya ini (membuka lahan pakan). Kalau habitat itu dikendalikan maka banyak sekali tumbuhan-tumbuhan untuk pakan badak ini dan ini merupakan hal yang penting untuk mendukung ketersediaan pakan badak,” papar Widodo
Upaya dalam mendukung konservasi badak tidak cukup hanya mengandalkan para stakeholder dan masyarakat. Peran pemerintah juga diperlukan baik daerah maupun pusat sehingga konservasi badak berjalan dengan optimal.
Kepala Bidang Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pandeglang Banten Kemih Kurniadi, S.P. menjelaskan pemerintah daerah pandeglang telah membuat legalitas formal terkait dengan daerah penyangga TNUK dan mendorong pembuatan peraturan daerah di tingkat provinsi dalam Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu (RZKSNT) terkait dengan keamanan.
Peraturan daerah tersebut sebagai dasar untuk pengelolaan desa penyangga TNUK dalam mempertahankan dan melestarikan konservasi badak jawa. Pembangunan kawasan perdesaan/desa membangun telah dituangkan dalam UU No. 6 Tahun 2014.
“Masing-masing desa penyangga TNUK telah difokuskan seperti Kecamatan Cimanggu untuk pengembangan Agroforestry, dan Kecamatan Sumur untuk pengembangan Kawasan Perdesaan Pesisir dan Perairan,” tutur Kurniadi.
Dukungan pemerintah daerah juga dilakukan dengan membentuk Rencana Aksi Masyarakat (RAM) dan kajian penghidupan berkelanjutan yang telah dilakukan di 12 Desa penyangga melalui penandatangan perjanjian kerjasama antara enam organisasi perangkat daerah Kabupaten Pandeglang dengan WWF Indonesia. Selain itu juga dilakukan rehabilitasi hutan mangrove Komunitas Cula Satu (KCS) yang juga bekerjasama dengan WWF.
“Inilah upaya yang dilakukan oleh pemerintah pandeglang dalam upaya mengkonservasikan badak jawa dalam konteks pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan TNUK semoga upaya-upaya yang sudah dan akan dilakukan dapat membantu dalam melestarikan badak jawa,” ungkapnya.
Pendekatan agama dalam upaya melestarikan satwa langka menjadi sangat penting ditengah perilaku oknum-oknum yang mengalami krisis moral. Dititik inilah, agama harus berperan melalui bentuk tuntunan keagamaan serta direalisasikan di dunia nyata dalam usaha pelestarian satwa langka.
Upaya dalam pendekatan agama dilakukan dengan mengeluarkan fatwa yang menjadi junjungan umat dalam melakukan aktivitas. Diharapkan fatwa tersebut menjadi acuan dan pedoman bagi masyarakat serta dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Ketua Komisi Fatwa MUI Banten K.H. Abdul Abdul Wahid Sahari, M.A. mengatakan fatwa MUI perlu disosialisasikan kembali dengan memanfaatkan peran ulama dan da’i. Hal itu, menurutnya, agar masyarakat sadar bahwa wajib melestarikan lingkungan dan menjaga satwa langka serta wajib dilindungi.
“Jadi InsyaAllah kita sosialisasikan fatwa MUI serta dalil ayat sampai dengan dasar hukumnya kemudian manfaatkan majelis taklim terkait dengan ini (konservasi) dan memanfaatkan da’i konservasi,” katanya.
Ia melanjutkan, dalam upaya sosialisasi fatwa mui tentang satwa, telah dibentuk Pemuliaan Lingkungan Hidup (PLH) yang bertujuan membantu dalam mensosialisasikan dan mengamalkan fatwa majelis ulama. “Dengan dibentuknya PLH diharapkan dapat membantu dalam mensosialisasikan dan mengamalkan fatwa majelis ulama,” ucapnya. (*DMS)
Bagikan :