Jakarta (UNAS) – Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (Himahi) Universitas Nasional mengadakan diskusi publik nasional membahas isu larangan ekspor batubara pada Senin, (21/2). Acara yang diselenggarakan secara online ini turut menghadirkan Dosen Hubungan Internasional Universitas Nasional Atina Izza, S.Hub.Int., M.Si. dan Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi WALHI Fanny Tri Jambore Christanto sebagai narasumber.
Dalam paparannya, Dosen Hubungan Internasional Universitas Nasional Atina Izza, S.Hub.Int., M.Si., mengatakan bahwa Indonesia adalah salah satu produsen dan ekspor batubara terbesar di dunia, menempati peringkat ke-6 secara global. Batu baru merupakan komoditi perdagangan (ekspor) terbesar sehingga ini adalah pendapatan nasional Indonesia. Cadangan batu bara Indonesia sendiri menyumbang 2,2% dari total cadangan dunia (BP, 2018).
Ia menambahkan, batubara juga menjadi Sumber energi untuk pembangkit listrik, yang termurah di antara pembangkit berbahan bakar fosil sehingga negara seperti China dan India sangat bergantung kepada batu bara untuk menggerakkan industrinya. Ia pun melihat ketika kebijakan pelarangan ekspor batu bara itu diterapkan banyak negara-negara yang menentang kebijakan tersebut.
“Padahal, kebijakan tersebut diterapkan untuk menghindari adanya krisis energi di dalam negeri dan risiko inflasi yang mengikuti, seperti yang terjadi di banyak negara. Sehingga pemerintah perlu memastikan pasokan batubara untuk dalam negeri cukup,” katanya.
Ia juga mengatakan bahwa Kementerian ESDM mencatat bahwa setidaknya 20 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), baik milik PLN maupun independent power producer (IPP) mengalami defisit pasokan batu bara. Hal tersebut berpotensi mengganggu keandalan listrik bagi 10 juta lebih pelanggan PLN.
“Sehingga pasokan di dalam negeri perlu dipenuhi terlebih dahulu karena target dari pemerintah bagi para perusahaan batu bara adalah 20% untuk DMO,” ujar Atina.
Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi WALHI Fanny Tri Jambore Christanto menyatakan bahwa para pengusaha lebih tertarik untuk menjual batu bara ke luar negeri dari pada di dalam negeri karena harga jual batu bara lebih tinggi. “Ini yang akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor batu bara karena 60% lebih pembangkit listrik kita masih menggunakan batu bara,” tutur Fanny.
Ia juga mengatakan bahwa tidak ada sanksi yang diberikan kepada pengusaha jika mereka tidak memenuhi DMO. “Pada pasal 158 ayat (3) PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara tidak diatur pemberian sanksi paling hanya memberikan denda. Namun, denda yang diberikan tidak memberikan jera karena pendapatan penjualan batu bara masih tinggi ini yang membuat pengusaha lebih memilih menerima denda dan tetap menjual batu bara ke luar negeri,” katanya.
Fanny juga menuturkan dengan bergantungnya kepada energi batu bara membuat pertambangan batu bara menjadi lebih banyak. Ia pun menyampaikan data bahwa 4,59 juta hektar lahan hutan telah dikuasai izin pertambangan dan ada enam pertambangan yang menguasai. Batu bara menjadi pertambangan yang terbesar dengan 1.965.185.42 hektar di tutupan lahan hutan.
Ia menambahkan bahwa Pemerintah hanya menghitung harga perekonomian dari batubara dengan membandingkannya dengan harga sumber-sumber energi lain seperti minyak, gas bumi, dan energi terbarukan. Namun, Pemerintah tidak memasukkan biaya eksternalitas batubara.
“Pemerintah tidak pernah menghitung dampak kesehatan yang ditanggung masyarakat selama rantai pemanfaatan batubara, pemerintah tidak pernah menghitung dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan batubara, Pemerintah tidak pernah menghitung kerugian akibat perubahan iklim yang penyebab utamanya adalah emisi GRK dari Batubara. Sehingga ada berbagai dampak yang ditimbulkan seperti kesehatan, lingkungan, sosial-ekonomi dan ini perlu menjadi perhatian pemerintah,” jelasnya.
Fanny pun mendorong untuk segera menggunakan energi terbarukan demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas lagi.
Acara yang mengangkat tema “Mengkaji Kebijakan Indonesia Terkait Isu Larangan Ekspor Batubara” ini mendapat apresiasi dari Ketua Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Dr. Irma Indrayani, S.I.P., M.Si. “Mudah-mudahan apa yang sudah direncanakan dapat menambah wawasan mengenai studi kasus hubungan internasional bagi teman-teman mahasiswa dan masyarakat pada umumnya, selamat dan sukses mudah-mudahan acara berjalan dengan lancar,” kata Irma dalam sambutannya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Administrasi Umum Dr. Aos Yuli Firdaus, S.I.P., M.Si. Ia menyampaikan bahwa Himahi turut serta dalam membangun program studi hal itu terlihat dari kegiatan yang dilaksanakan yang bersifat konstruktif dan supporting.
“Terkait dengan kegiatan ini, saya mengapresiasi kegiatan yang baik ini dengan mengangkat isu-isu aktual. Sehingga diharapkan mahasiswa dapat memahami situasi dan kondisi saat ini. Ditambah dengan paparan para narasumber yang diharapkan juga mahasiswa dapat menambah wawasan serta pengetahuan mengenai kebijakan ini,” ungkap Aos. (*DMS)
Bagikan :