Jakarta (UNAS) – Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional menyelenggarakan sidang promosi doktor bidang ilmu politik atas nama Seta Basri pada Kamis, (21/7) di Ruang Seminar Gedung Menara I Universitas Nasional. Dalam sidang promosi ini, Seta berhasil menyandang gelar Doktor (S3) setelah berhasil mempertahankan Disertasinya berjudul “Kekuasaan Soeharto Dalam Perspektif Biopolitik Neo Darwinis Periode 1965-1971”.
Dalam disertasinya, Seta berusaha membuktikan bahwa perspektif biopolitik Neo Darwinis dapat digunakan untuk menganalisis kekuasaan Soeharto dalam periode 1965-1971.
Saat memaparkan disertasinya, Ia mengungkapkan bahwa Soeharto di dalam mengembangkan kekuasaannya cenderung berbeda dengan Soekarno, yang dalam cara pandang biopolitik maka Soeharto cenderung menyerap (mengabsorpsi) aneka hirarki kompleks yang ada ke dalam kekuasaannya. Menurut disertasi yang Seta tulis, Soeharto melakukan hal tersebut menggunakan kelihaiannya di dalam melakukan reproduksi kekuasaan baik terhadap kekuatan politik nasionalis, kekuatan politik Islam, maupun angkatan bersenjata.
Sementara itu, kata Seta, Soekarno cenderung melakukan sentralisasi kekuasaan dengan mana fokusnya adalah mengalahkan kekuatan politik yang menentangnya secara frontal. Agar tunduk di bawah dominasinya, bukan cara mengabsorpsi seperti dilakukan Soeharto.
Berdasarkan pemaparannya, tertulis bahwa Seta menyebut kemampuan Soeharto dalam mengabsorpsi aneka kekuatan politik lawan ke dalam hirarki merupakan modalitasnya dalam menciptakan political obedience dan secara lebih lanjut memungkinkan Pemilu 1971 dimenangkan oleh Sekber Golkar sebagai organisasi politik “tentara” yang mampu mengamankan dominasinya di parlemen, baik itu DPR serta MPR.
Selanjutnya, Seta menjelaskan bahwa otoritarianisme yang dikembangkan Soeharto saat itu dapat saja diterima sebagai kondisi yang diperlukan (necessary condition) karena Indonesia menghadapi keraguan antara melanjutkan Demokrasi Terpimpin atau kembali masuk ke dalam Demokrasi Liberal dengan partai-partai politik memegang peranan utama.
“Pilihan Soeharto adalah membentuk sistem politik yang sedikit banyak mencerminkan apa yang paling ia kenali yaitu kehidupan kemiliteran yang mengandalkan pada hirarki dan ketegasan komando. Hal ini membuat dapat saja dikemukakan pernyataan bahwa Soeharto sekedar menyempurnakan otoritarianisme yang lebih dahulu dikembangkan oleh Soekarno”, jelasnya.
Kemudian, Ia juga menjelaskan bahwa otoritarianisme yang ditempuh oleh Soeharto dalam kurun 1965-1971 adalah pilihan yang paling mungkin dalam menghadapi situasi turmoil Indonesia pasca Soekarno.
“Dengan demikian, Biopolitik yang digunakan dalam disertasi ini lebih cocok untuk digunakan dalam melakukan kajian terhadap situasi-situasi peralihan rezim di suatu masyarakat yang secara pendidikan dan ekonomi masih dalam kondisi rendah. Sebab dalam kondisi demikian maka pilihan yang paling mungkin adalah otoritarianisme bukan demokrasi”, ucap Seta. (*DMS)
Bagikan :