Jakarta (UNAS) – Agustus 2021 menjadi bulan yang spesial bagi bangsa Indonesia dan khususnya bagi umat islam. Pada bulan ini, terdapat dua perayaan hari besar yaitu Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-76 dan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1443 H. Sebuah momentum yang sekiranya penting bagi bangsa Indonesia dan umat islam untuk menggali dan merefleksikan nilai-nilai luhur.
Pusat Pengajian Islam Universitas Nasional (PPI-Unas) menyelenggarakan Kajian Jumat yang mengangkat tema “Dialog Kebangsaan Meneguhkan Kembali Nilai-nilai Luhur Pemimpin Bangsa Indonesia”. Melalui dialog ini, harapannya mampu menemukan kembali nilai-nilai yang tertanam dan menjadi kekuatan serta bekal untuk bangkit sebagai bangsa Indonesia yang tangguh dalam menempuh perjalanan kebangsaan di masa depan.
Sebagaimana menciptakan generasi-generasi kepemimpinan yang mampu menjadi pejuang yang mampu bertarung di dalam melihat kancah baik nasional maupun internasional. Mewakili sambutan Gubernur DKI Jakarta, Kepala Kesbangpol DKI Jakarta Topan Bakri menyampaikan kepemimpinan yang diharapkan dapat mengambarkan sifat mulia Nabi Muhammad SAW. “Seperti yang digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW, kita harus bersifat shiddiq, tabligh, amanah, dan fathonah. Yang agak sulit ke depan bagaimana kepemimpinan menjadi amanah”, ujarnya.
PPI-Unas sendiri juga berupaya untuk membentuk pemimpin yang berkredibilitas melalui penerbitan buku mengenai Langkah-langkah Menjadi Pemimpin yang diadopsi dari Al-Quran dan hadist. Juga diingatkan kembali oleh Ketua PPI-Unas Dr. Drs. Fachruddin Majeri Mangunjaya, M.Si., bahwa salah satu tujuan didirikannya PPI-Unas sebagai harapan melahirkan umat islam yang dapat memimpin diberbagai sektor.
“PPI-Unas ini didirikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana tahun 1985. Salah satu keprihatinan beliau pertama bagaimana umat islam bisa menjadi leading diberbagai sektor ekonomi, politik, dan terkait dengan sosial dan sebagainya,” tutur Fachruddin pada hari Jumat (27/8).
Dua kosa kata utama yang diangkat dalam dialog ini adalah kepemimpinan dan kebangsaan oleh moderator Assc. Prof. Drs. Firdaus Syam, MA. P.hD. “Kepemimpinan dan kebangsaan ini dua kosa kata yang sangat penting dan sangat bermakna dalam gerak langkah kehidupan sebuah bangsa,” tuturnya. Bagi Prof. Firdaus sebuah bangsa memerlukan sebuah kepemimpinan untuk bagaimana bangsa itu bergerak ke depan membangun jati dirinya dan kemudian bisa memunculkan gagasan-gagasan besar. Sehingga sebuah bangsa bisa duduk berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain bahkan bisa menjadi leading di dalam kehidupan pergaulan internasional dan dalam memberdayakan masyarakat warga negaranya menuju kesejahteraan.
Kepemimpinan dan kebangsaan menurut Akademisi Muslim Prof. Dr. Azyumardi Azra, sampai saat ini masih relevan. Meskipun pada akhir tahun 60-an terdapat teori-teori atau argumen bahwa nasionalisme tidak relevan lagi. “Pada masa globalisasi khususnya bagi Indonesia, nasionalisme itu tetap harus ditumbuhkan. Jati diri bangsa harus diperkuat kalau kita tidak mau tenggelam oleh kekuatan-kekuatan (negara) yang lain,” ungkap Prof. Azyumardi.
Bercermin pada masa kepemimpinan Ir. Soekarno yang merepresentasikan kepemimpinan dalam menciptakan kesatuan. Selain itu, saat ini juga diperlukan pemimpin yang bisa memecahkan masalah. Sedangkan, Prof. Azyumardi mengatakan pada saat ini praktek politik yang berkembang tidak menumbuhkan solidaritas atau politik yang oligarkis, membuat sebagian anak bangsa tersingkir dalam proses-proses politik.
Sehingga, Prof. Azyumardi melihat konteks kebangsaan bukan hanya kaitannya dengan pengembangan aspek-aspek tertentu dalam kehidupan berbangsa. “Misalnya saja jelas bangsa ini membutuhkan infrastruktur yang lebih baik tapi bukan hanya infrastruktur fisik tetapi juga infrastruktur sosial, budaya dan politik,” tambahnya. Ini menjadi tantangan berat bagi kita mengenai kepemipinan yang memiliki jiwa dan sifat solidarity maker, problem solver serta future oriented sehingga harus disiapkan.
Sepahaman dengan itu, peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI Prof. Dr. R. Siti Zuhro, M.A., mengatakan Indonesia sebagai negara archipelago memang membutuhkan satu pola kepemimpinan yang betul-betul mampu menyatupadukan Indonesia. Prof. Siti menyampaikan, “Berbicara pemimpin itu berarti dengan kepemimpinannya kita melihatnya memegang peran penting. Peran yang strategis dan menentukan dalam menjalankan (negara) bahkan menentukan hidup mati atau pasang surutnya kehidupan suatu bangsa dan negara,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa akhir-akhir ini ada kecenderungan menurunnya kepercayaan masyarakat kepada para pemimpin. Hal itu bisa menjurus kepada krisis kepercayaan dan mempengaruhi gerak pembangunan. Sejalan juga dengan yang disampaikan oleh Prof. Azyumardi mengenai proses-proses politik. Prof. Siti mengatakan bahwa kampus sendiri sebagai wadah atau sarana pusat pendidikan yang terbukti telah menjadi tempat lahirnya pemimpin.
Sejarah sudah membuktikan bahwa perguruan tinggi memiliki peran penting dalam mendorong proses kaderisasi calon pemimpin yang hebat. “Ini merupakan tantangan bangsa saat ini karena itu tidak mungkin menyerahkan bulat-bulat sistem perkaderan calon pemimpin pada partai politik. Tapi peran perguruan tinggi harus lebih menonjol,” kata Prof. Siti.
Sehingga, tugas kepimpinan menjadi tanggung jawab bagi kita semua tidak hanya partai politik atau kelompok tertentu agar proses-proses politik dapat terbuka dan memunculkan pemimpin yang dapat mengayomi bangsa Indonesia. Dalam kegiatan ini tidak hanya dihadiri oleh akademisi atau undangan melalui secara daring. Namun juga para santri dari pesantren yang sedang bekerjasama menjalakan program kerjsama dengan PPI-Unas. (*ARS)
Bagikan :