Jakarta (UNAS) – Kerusakan lingkungan sebagaimana yang kita saksikan akhir-akhir ini sudah menjadi gejala umum yang tidak lepas dari campur tangan kita sebagai manusia. Bila ditelusuri lebih jauh ke belakang, kerangka filosofis dan spiritual ekologi sebetulnya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, tetapi telah terumuskan secara berulang-ulang sepanjang sejarah perjalanan hidup umat manusia.
Ketua Pusat Pengajian Islam (PPI) Universitas Nasional (Unas), Dr. Fachruddin M. Mangunjaya, M.Si., menyampaikan “ bahwa kita (PPI) sekarang juga mengangkat mengenai pemikiran-pemikiran islam klasik yang mungkin akan bermanfaat untuk kita sekarang ini sebagai sebuah refleksi tentang keadaan kita karena sebenarnya apa yang kita pelajari ini adalah sejarah pemikiran dan pemikiran itu biasanya sebagai basic dan sejarah ini adalah sebuah pengulangan,”.
Pada kegiatan Kajian Jumat (05/02) yang diselenggarakan oleh PPI Universitas Nasional, dimoderatori oleh Dosen Program Ilmu Politik FISIP Unas, Drs. Hari Zamharir, M.Si. mengangkat tema mengenai Pandangan Ikhwan Al-Shafa tentang Lingkungan Hidup & Alam Semesta.
Ikhwan Al-Shafa merupakan sekelompok pemikir muslim terdiri dari para filosof atau ilmuan pada sekitar abad ke-4 Hijriyah/10 Masehi di Basra, Irak. Ikhwan Al-Shafa suatu kelompok elitis yang menghasilkan 4 jilid karya yang berisi ensiklopedia ilmuan yang menginspirasi filosof-filosof generasi berikutnya.
Salah satunya mengenai konsep kosmologi. Hal ini menjadi penting karena sebagaimana yang kita semua saat ini lihat berbagai bencana alam yang datang silih berganti dikarenakan kerusakan alam dan lingkungan yang disebabkan oleh perilaku manusia. Pandangan, pemikiran, dan perspektif manusia yang tidak bijak dalam melihat alam.
Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, Muhammad Abdullah Darraz, M.A., selaku pembicara mengatakan manusia sering mengeluhkan krisis ekologi dan krisis lingkungan yang mana itu karena campur tangan manusia yang tidak ramah dalam memperlakukan alam. Sedangkan, konsep dasar Ikhwan Al-Shafa tentang alam semesta adalah alam sebetulnya berasal dari wujud yang tunggal yaitu Allah SWT.
“ Maka alam sebetulnya, seharusnya diposisikan sebagai entitas yang terhormat dan mulia karena dia (alam) mengandung unsur kemuliaan dan terhormat. Ini berbeda dengan manusia-manusia modern yang melakukan eksploitasi alam, tidak melakukan sakralitas padahal alam mengandung sakralitas karena alam berasal dari Tuhan yang sakral, ” tutur Darraz.
Ikhwan Al-Shafa menegaskan bahwa alam semesta ini memiliki jiwa seperti jiwa yang dimiliki oleh manusia. Selama ini, pandangan science modern menegasikan keberadaan entitas-entitas seperti bebatuan, air, dan alam adalah benda mati. Sedangkan, pada penelitian Masaru Emoto di Jepang mengenai respon air saat manusia menyampaikan kalimat atau doa yang baik maka akan terbentuklah partikel kristal air. Hal ini, menurut Darraz sebagai bentuk respon air karena memiliki jiwa seperti yang dimaksud.
“Ikhwan Al-Shafa melakukan semacam metafor bahwa alam itu seperti manusia. Meskipun manusia dan alam banyak ragam organ-organ tubuhnya tapi dia itu satu. Kalau ujung jari kita berdarah pasti organ tubuh yang lain akan ikut merasakan,” jelas Darraz.
Sedangkan menurut Darraz dalam science modern, pemikiran-pemikiran ini sudah ditinggalkan. Sehingga konsekuensinya adalah mereka memandang bahwa semua entitas di luar manusia itu sesuatu yang tidak hidup dan boleh diperlakukan semena-mena.
“Oleh karena itu ketika kita memperlakukan alam, seharusnya manusia memperlakukannya seperti kepada dirinya sendiri sebagai manusia karena alam semesta adalah jenis manusia lain. Manusia besar itu, menurut Ikhwan Al-Shafa,” tambahnya. (*ARS)
Bagikan :