Jakarta (UNAS) – Persoalan antara pekerja dan pemberi kerja memang cenderung sering terjadi dengan berbagai alasan. Namun, perlu diketahui bahwa untuk menyelesaikan persoalan dalam ketenagakerjaan perlu beberapa tahapan, ini penting bagi perusahaan untuk memperhatikan masalah hubungan industrial yang ada di lingkungan organisasi perusahaan. Sadar akan pentingnya pemahaman tentang menyelesaikan perselisihan industrial, Fakultas Hukum Universitas Nasional mengadakan kegiatan Pelatihan Ketenagakerjaan pada Jumat (16/10).
Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, S.H., M.S. Menjelaskan Pelatihan Ketenagakerjaan ini merupakan edukasi terhadap pekerja dan pemberi kerja mengenai persoalan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). “Pandemi Covid-19 berdampak pada kinerja dan keuangan, seperti yang kita tahu, banyak perusahaan yang merumahkan karyawannya. Tentu, situasi demikian harus diatasi dengan cara yang baik, bapak ibu dalam mewakili perusahaan atau pekerja keduanya harus memerlukan kemahiran dalam menyelesaikan persolan antara pekerja dan pemberi kerja” jelasnya dalam sambutan.
Menurut Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Masidin, S.H., M.H. dalam materinya, PHK adalah upaya terakhir yang diambil bila segala upaya sudah dilakukan namun tidak berhasil. “apabila upaya yang sudah dilakukan (perundingan, bipartit) tidak mengahasilkan persetujuan, maka baru dapat dilakukan PHK. Akan tetapi, PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh tetapan dari Lembaga Perselisihan Hubungan Industrial artinya dapat dilakukan setelah adanya putusan pengadilan, baru bisa PHK” terang Masidin.
Didalam hubungan industrial, apabila sampai terjadi perselisihan antara pekerja dan pengusaha, perundingan bipartit bisa menjadi solusi utama agar mencapai hubungan industrial yang harmonis. Hubungan industrial yang kondusif antara pengusaha dan pekerja/buruh menjadi kunci utama untuk menghindari terjadinya PHK, meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh serta memperluas kesempatan kerja baru untuk menanggulangi pengangguran di Indonesia.
Masidin juga menjelaskan mengenai perubahan Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) dengan Undang-Undang Cipta Kerja tentang ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
“Pada UUK Pasal 151 ayat (2) jika dalam hal segala upaya sudah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib di rundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh atau yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat/buruh. Ini dalam UU Cipta Kerja (UU Ciptaker) di dirubah menjadi (ayat 2) dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari maksud dan alasan pemutusan hubungan kerja harus diberitahukan kepada pekerja/buruh dan atau serikat buruh” sambungnya.
Dr. Mustakim, S.H., M.H. praktisi hukum yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional berpendapat. “ Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara Pengusaha atau gabungan Pengusaha dengan Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat Buruh dalam satu perusahaan (pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial). Ini harus dipahami dengan baik sehingga kita tahu metode-metode yang disediakan dalam Undang-undang mengenai perselisihan ini” papar Mustakim.
Perselisihan hubungan industrial diharapkan dapat diselesaikan melalui perundingan bipartit, jika dalam hal perundingan bipartit gagal, maka penyelesaian dilakukan melalui mekanisme mediasi atau konsiliasi. Bila mediasi atau konsiliasi sebagai pilihan yang dapat diambil gagal, maka perselisihan hubungan industrial dapat dimintakan untuk diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial.
Pada kegiatan yang mengusung tema “Mahir Menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial” ini, selain mengundang Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Masidin, S.H., M.H juga menghadirkan pakar hukum ketenagakerjaan yang juga merupakan Ketua Program Studi Magister Hukum Sekolah Pascasarjana UNAS, Dr. Rumainur, S.H., M.H.
Pakar Hukum Ketenagakerjaan Dr. Rumainur, S.H. menyayangkan perihal sikap para Dewan saat ini, “ dalam penyesuaian subtansi hukum ada tiga lapisan ilmu hukum yang harus dipahami yang meliputi teori hukum, filsafat hukum dan dogmatic/norma hukum. Ini menurut J. Gijssels dan Mark van Hoecke, ini yang menyedihkan bagi saya jika hak- hak dari serikat buruh tidak didengarkan oleh pemerintah”, terangnya. (*TIN)
Bagikan :