Pancasila itu adalah lima hal dasar yang menjadi kesepakatan kita berbangsa Indonesia. Ia seperti “aqidah bernegara” yang mengatur keimanan warganegara. Kadang, yang namanya iman itu turun naik: al Imanu yazidu wa yankus, yazidu bi al ta’ah, wa yankus bi al masih. Iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan ketaatan yang kita lakukan, dan berkurang akibat kemaksiatan yang kita kerjakan. Karena itulah, mungkin, kenapa hari ini, 1 Juni 2023, kita memperingatinya.
Peringatan Hari Pancasila mestinya menjadi momentum melakukan refleksi besar tentang bagaimana kita ber-Pancasila. Bukan sekedar seremonial melalui upacara bendara, atau kegiatan artifisial lainnya. Kita perlu berefleksi akan nilai-nilainya: Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebersatuan, Kebermusyawaratan, Keberkeadilan sosial! Inilah poin yang mesti kita perkuat agar “Hari Raya Ber-Pancasila” hari ini bermakna. Dan tentu, harus dilanjutkan pada hari-hari setelahnya.
Peringatan Hari Pancasila tahun ini memang menemukan signifikansinya. Pelaksanaan nilai-nilai Pancasila kita “babak belur”. Coba cek bagaimana kebertuhanan kita saat ini? Korupsi, perselingkuhan para pejabat yang terekspos, konflik tempat ibadah, hedonisme, kesombongan para penguasa, dan hal lainnya menunjukan seakan-akan mereka tidak bertuhan untuk sementara waktu.
Coba cek juga bagaimana keberkemanusiaan kita hari ini? Kasus Sambo, Mario Dandi, dan yang lainnya menantang kita untuk memastikan bahwa apakah kita masih berperikemanusiaan? Kata Erdogan: kita hanya perlu menjadi manusia untuk berempati pada kemanusiaan! Kasus-kasus yang menunjukan ketidakberadaban kita kepada manusia mempertanyakan apakah kita masih menjadi manusia yang ber-Pancasila? Memang, beberapa kasus nir kemanusiaan tersebut tidak menggambar bagaimana keberadaban manusia Indonesia, tapi boleh jadi kasus-kasus tersebut merupakan gambaran “puncak gunung es” dari bagaimana kita memperlakukan sesama dalam kehidupan keseharian kita. Coba cek bagaimana kita bertetangga, bersikap pada rekan kerja, atau bahkan kepada oposisi politik yang juga masih manusia? Mereka bukan binatang yang karenanya tidak pantas untuk diperlakukan seperti binatang!
Alhamdulillah, kebersatuan kita dalam berbangsa dan ber-NKRI masih terjaga. Saya akui bahwa ikhtiar kita dalam menjaga keragaman berhasil karena kita sadar bahwa keragaman adalah anugerah Tuhan untuk Indonesia. Kebersatuan kita tertantang pada hubungan intra kelompok agama dan kelompok tertentu seperti adanya KKB di Papua. Mudah-mudahan, melalui penegasan akan penerimaan keragaman dalam bingkai persatuan sila ketiga Pancasila ini, lambat-laun masalah-masalah tersebut menemukan solusi terbaiknya.
Saya kira kita memerlukan tafsir baru yang lebih melembaga akan makna kebermusyawaratan kita hari ini. Makna demokrasi Pancasila sebagaimana menjadi spirit sila keempat Pancasila seringkali dijadikan “pasal karet” oleh oknum penguasa. Bukankah Pancasila sudah ada sejak Republik ini berdiri? Lalu kenapa setiap rezim penguasa berganti, cara kebermusyawaratan (baca: berdemokrasinya) berbeda? Masa kita harus berharap kemurah-hatian para penguasa untuk mendapatkan hak-hak demokrasi warganegara. Bukankah negara ini milik kita sebagai warganegara, bukan milik penguasa yang segelintir orang saja? Kenapa harus ditentukan oleh tafsir sepihak penguasa? Disinilah urgensi perlunya restorasi dari pelaksanaan Pancasila saat ini.
Peringatan Hari Pancasila tahun ini diiringi dengan kenyataan bahwa Indonesia telah melewati masa Presidensi G20 yang menegaskan posisi ekonomi kita yang tinggi di dunia. Bahkan, potensi Indonesia untuk menjadi lima besar dunia, telah banyak media internasional memprediksinya. Masalahnya adalah kemana kekayaan itu berlabuh? Ke kantong siapa uang yang banyak itu masuk? Pertanyaan itu mengemuka karena begitu banyaknya masyarakat yang terkapar ekonominya pasca Covid-19 berlalu. UMKM banyak gulung tikar. Pengangguran terselubung bertambah. Pinjaman online terus merebak seperti bom waktu. Uang banyak, tapi yang beredar tidak banyak, padahal rakyat banyak memerlukannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Maka tak terelakkan inflasi meninggi: harga beras melambung, harga telur melebar, dan harga sembako lainnya tak menentu.
Semua itu menegaskan akan adanya masalah dari cara kita menerapkan sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!
Karena itu, keimanan bernegara kita harus kembali diperkuat pada poin ini. Kita harus kembali untuk menyadari bahwa kesejahteraan yang kita raih ini adalah untuk seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk segelintir oligarki, proxy-nya dan komplotan kolusinya di dalam negeri maupun dari luar negeri. Siapa pun mereka.
Akhirnya, apapun nawaitu awal adanya peringatan Pancasila ini, mudah-mudahan menyadarkan semua bahwa kita memiliki konsensus yang berharga untuk kita jaga, yaitu nilai-nilai Pancasilanya, bukan slogan yang berakhir pada kebanggan atas klaim diri yang paling Pancasilais. Bukan itu. Tapi pada seberapa besar pelaksanaan nilai-nilainya. Ingat, rakyat Indonesia telah hampir 78 tahun menunggunya.
Selamat memperingati Lahirnya Pancasila. Mudah-mudahan hari ini menandai lahirnya kembali semangat kita untuk menunaikan Pancasila sebagai sebuah kesepakatan berbangsa dan bernegara. Kalau hal ini terjadi, dan terus bertambah substansi nilai pengamalannya, maka kita masih bisa menjawab kepada para pendiri bangsa ini bahwa kita masih ber-Pancasila.
Penulis : Robi Nurhadi, Ph.D. (Dosen FISIP Universitas Nasional)
Bagikan :