Panglima Talam, di Sekitar ‘Raja’

Oleh: Dr. Chazali H. Situmorang, (Pemerhati Kebijakan Publik, Dosen FISIP UNAS, Sang Bayu-Batak Melayu)

Sekelumit cerita

“Memanglah sedap asam pedas ni, ya Bang?” kata Atan pada Pudin ketika mereka makan ramai-ramai selepas gotong royong kampung.

“Alhamdulillah,” jawab Pudin menghentikan suapnya. “Ini nikmat selepas gotong royong; kita dah lapar, masakan ibu-ibu kita ni panas, makan ramai-ramai.”“Tambah sedap lagi bila makannya berebut-rebut pakai talam besar,” timpal Awang. “Tapi talam tu bukan untuk tempat makan, Wang,” kata Atan ikut berhenti menyuap.

“Aku pernah ikut kenduri adat makan pakai talam, terjadi tarik menarik paha ayam. Karena tangan tak menyentuh mulut, kejadian tu malah buat kita jadi akrab,” tambah Awang.

“Sebetulnya talam itu untuk mengangkat hidangan. Mungkin orang dulu cari mudahnya, makan sekali disitu. Tradisi bagus juga asal kau jangan jadi panglima talam aja,” kata Atan.

“Apa maksudnya tu, Tan?” tanya Awang.  Atan diam saja dan menunggu jawaban Pudin. “Nanti selesai makan kita lanjutkan,” jawab Pudin meneruskan makan.

Sehabis makan Pudin menggabik ketiga kawannya untuk mendekat. Lalu dia bercakap. “Talam kan lebar, bisa untuk mengangkat banyak makanan. Bila orang dihampiri yang mengangkat talam, tentulah senang karena akan dapat makanan, meskipun bukan dia yang masak.”

“Tapi apa pula hubungannya dengan panglima tu, Bang?” tanya Awang. “Panglima kan punya kuasa dan dekat dengan raja. Karena itu dia banyak kesempatan untuk menyenangkan raja bagaikan orang yang mengangkat talam tadi. Jadi orang yang suka nyenang-nyenangkan raja atau keluarganya secara berlebihan digelarlah panglima talam.”

“Maksud abang orang yang suka mengampu?” tanya Awang. “Semacam itu lah. Itu sifat tak baik karena ada udang di balik batu, penuh pujian dan sanjungan yang berlebihan dan tak ikhlas. Mungkin orang yang diampu tu malah jadi celaka karena tak tahu keadaan yang sebenarnya,” jawab Pudin. “Bisa diuji pula, ketika orang yang diampu itu celaka, apa pengampu itu mau ikut menanggung rugi atau ikut malu?” Pudin balik tanya.

Baca Juga :   Pelatihan Preceptorship D-IV Kebidanan Diharapkan Wujudkan Pembimbing Klinik yang Kompeten

“Gitu ya bang? Memanglah banyak pengetahuan bang Pudin ini. Kalau tak ada Bang Pudin, tak tahu lah saya bagaimana nak bercakap bila suatu kali jumpa dengan Bupati tu,” balas Awang.

“Nah…  Awang!  Macam ini lah contoh cakap panglima talam tu,” tuding Atan. “Iya bang? Bukan kan, bang?” Tanya Awang untuk minta pembenaran. Pudin hanya tersenyum dan mengajak kawan-kawannya itu membenahi peralatan kerja dan pamit pulang pada  pak RW. (https://riau2020.wordpress.com)

Sekelumit cerita diatas, memberikan ilustrasi yang pas tentang apa yang dimaksud panglima talam, dalam cerita Melayu, terkait hubungan antara rakyat dengan rajanya. Atau hubungan raja dengan para orang sekitarnya (para hulubalang).

Sistem pemerintahan kita, walaupun bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana seorang pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan dipilih rakyat secara demokrasi, tetapi pola hubungan kerja masih seperti masa-masa kerajaan dulu, dimana hulubalang banyak berperan sebagai panglima talam terhadap rajanya.

Seorang raja masa kerajaan Melayu dulu, titah raja adalah hukum yang harus dipatuhi oleh rakyatnya. Jika rajanya baik dan alim, maka rakyatnya untung. Jika raja lalim, brutal, asal bunyi, suka bohong, maka rakyatnya menjadi buntung.

Di Indonesia, memang dulu sistem kerajaan berurat berakar, karena banyaknya suku-suku bangsa, dan terpencar di puluhan pulau besar, dan ribuan pulau-pulau kecil, dengan tidak adanya sistem komunikasi antar pulau, maka terbentuklah kerajaan-kerajaan. Ada kerajaan besar dengan wilayah yang luas, dan ada kerajaan kecil dengan wilayah terbatas.

Dengan berdirinya Negara Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, dan sepakat dengan sistem Presidensial, menempatkan Presiden sebagai posisi sentral. Posisi sentral itu jelas diungkapkan dalam Konstittusi UU Dasar 1945, yaitu Presiden itu disamping sebagai Kepala Negara juga Kepala Pemerintahan, dengan segala kekuasaan yang dimilikinya. 

Posisi Presiden tersebut, mengibaratkan Presiden itu adalah gula, sehingga yang namanya semut, tetap mencari gula dan mengerumuninya. Sampai gula itu habis. Artinya semut itu akan pergi begitu saja jika gulanya sudah habis. Demikian juga Presiden. Orang-orang yang mengerumuni Presiden akan pergi dengan sendirinya, jika presiden itu sudah berakhir kekuasaannya. Jadi Presiden harus terus menerus menimbun gula, supaya semut tetap bertahan untuk berebut gula.

Baca Juga :   Pengamat: Penyekapan 60 WNI di Kamboja, ASEAN Kemana?

Dalam tata hubungan kerja antara “Raja” dengan pembantunya, yang disebut dengan para menteri, staf khusus, staf ahli, tim ahli, badan-badan, kelompok kerja, panglima militer, kepala kepolisian, Kepala Kejaksaan, disamping ada yang profesional, kompetensi tinggi, wisdom, punya akal sehat yang tetap terjaga, tetapi banyak juga yang hanya punya modal ibarat panglima talam, seperti cerita Melayu di atas.

Apa ukuran yang bisa kita lihat sebagai rakyat biasa terhadap mereka-mereka yang termasuk panglima talam?

Senang menyajikan makanan dan kue-kue yang dibawanya di atas talam, tentu dengan lezat cita. Padahal sebagai panglima tugasnya bukan membawa talam berisi makanan, tetapi mengawal,  menjaga keamanan dan keselamatan Raja. Tatapi supaya mendapat pujian Raja, tidak ada persoalan, dia yang membawa talam.

Memberikan laporan yang bagus-bagus saja. Jika ada masalah disembunyikan dengan rapi dengan berbagai cara. Raja senang, panglima talam pun kembang hidungnya.

Memberikan masukan kepada Raja, sesuai dengan pikiran dan kapasitas berpikir sang Raja. Sehingga Raja tidak merasa berat dalam menyelenggarakan roda pemerintahan. Panglima talam pun disegani dan ditakuti pembantu Raja.

Membiarkan sesuatu yang salah yang disampaikan Raja!pada rakyatnya, karena panglima talam tidak mau ambil resiko tidak disenangi Raja.

Mampu menciptakan puji-pujian dari negara asing, karena luasnya pergaulan panglima talam dengan negara-negara yang ingin menggerus kekayaan alam negaranya

Karena takut miskin setelah tidak lagi jadi panglima talam, maka mumpung dekat dengan Raja, memupuk asset, kekayaan, seluas-luasnya, dan sedalam-dalamnya.

Panglima talam dengan kecakapannya meyakinkan Raja, sering menakut-nakuti rakyatnya yang membuat rakyat terpecah belah. Jika ada organisasi masyarakat yang dianggap membahayakan eksisitensi ‘Raja’ dan panglima talam  dengan framing membahayakan keselamatan bangsa dan negara tidak segan-segan dibubarkan.

Baca Juga :   Prodi Sastra Jepang Tandatangani MoA dengan PT. Mandom Indonesia, tbk.

Mampu mengkondisikan situasi dan kondisi yang membuat ‘Raja’ terpengaruh bahwa hanya rajanya saja yang telah berhasil membangun. Raja-raja sebelumnya tidur panjang.

Panglima talam dapat meyakinkan ‘Raja’ atau juga ‘Raja’ punya pikiran yang sama, mengutamakan pembangunan infrastruktur secara besar-besaran. Pembangunan manusia nanti, setelah infrastruktur selesai. Karena di infrastruktur ada sesuatu yang diperoleh, yang  tidak di dapat jika membangun SDM.

Karena ada perubahan konstitusi di kerajaan tersebut, dimana ‘Raja’ dipilih setiap 5 tahun sekali dari kalangan turunan keluarga ‘Raja’ dari ratu maupun selir ‘Raja’, maka panglima talam sangat berperan dan mampu memoles ‘Raja’ menjelang PilRa (Pemilihan Raja) sebagai petahana periode kedua, dengan membuat design bagi-bagi sembako, bagi-bagi sepeda, bagi-bagi uang, bagi-bagi lahan, bagi-bagi kartu, yang dananya dari rakyat, CSR BUMN dan pengusaha relasi panglima talam.

Dalam debat petahana ‘Raja’ dengan calon ‘Raja’ di lapangan terbuka, sang panglima talam teganya memberikan data dan fakta yang salah pada Raja. Dengan bergairahnya Raja menyampaikannya di kerumunan rakyat. Akhirnya rakyat tahu fakta dan data yang disampaikan bohong. Tapi sang Raja tidak peduli, dan para panglima talam tiarap, diam seribu bahasa. Mungkin Raja berfikir hanya sedikit rakyat yang tahu dia bohong, sebagian besar tidak mengetahui. Karena semua saluran informasi sudah disumbat.

Rakyat diminta jangan menggosip. Jika yang disampaikan Rajabtidak benar jangan disebarkan. Berlaku pepatah, biar pecah di perut, asal jangan pecah di mulut.

Si panglima talam sudah berhitung, kalau yang terpilih adalah turunan Raja yang lain, pasti akan diadili dan masuk penjara, karena terlalu banyak dosa pada rakyatnya.

Yang hebatnya, ternyata sang Raja mengetahui semua gerak gerik, gaya, dan tipu muslihat sang para panglima talam. Tetapi Raja membiarkan bahkan turut menikmatiya. 

selengkapnya : www.urbannews.id

Bagikan :
Berita Terbaru
Pengumuman

Prestasi Universitas Nasional

🎉 Pencapaian Luar Biasa! 🎉
Dengan bangga kami mengumumkan bahwa Universitas Nasional meraih Predikat BAIK SEKALI dalam Klaster 2 pada Capaian

Read More »

Jadwal pelaksanaan PLBA T.A 2024/2025

Hari : Kamis 

Tanggal : 19 September 2024

Pukul : 07.00 – 17.00 WIB

Auditorium Universitas Nasional

FAKULTAS

  1. FISIP
  2. FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
  3. FAKULTAS TEKNIK DAN SAINS
  4. FAKULTAS TEKNOLOGI  KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Hari : Jum’at

Tanggal : 20  September 2024

Pukul : 07.00 – 16.00 WIB

Tempat : Auditorium Universitas Nasional

FAKULTAS

  1. FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
  2. FAKULTAS HUKUM
  3. FAKULTAS ILMU KESEHATAN
  4. FAKULTAS BIOLOGI DAN PERTANIAN

Tempat : Auditorium Universitas Nasional

Chat with Us!