Jakarta (UNAS) – Indonesia merupakan negara yang letak geografisnya berada tepat di antara pertemuan tiga lempeng tektonik yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang rawan bencana seperti gempa bumi, tsunami, longsor, gunung meletus, banjir bandang, hingga kekeringan. Dalam peristiwa bencana seperti yang terjadi di Aceh, Lombok, Yogyakarta, dan Palu.
Rawannya Indonesia terhadap bencana perlu mendapat perhatian, terutama penanganan terhadap korban bencana. Tenaga kesehatan memegang peranan penting dalam manajemen bencana khususnya evakuasi korban. Korban terdampak bencana berpotensi mengalami kecemasan, depresi dan trauma. Oleh karena itu, melakukan pertolongan pertama pada korban merupakan sebuah usaha yang perlu diperhatikan. Menyadari pentingnya manajemen perawatan dan penanganan awal pada korban bencana, Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES) melalui Himpunan Mahasiswa Keperawatan (HIMAKEP) menggelar Seminar Nasional dengan tema “Manajemen Perawatan Luka Pada Kasus Bencana”, di Auditorium Blok 1 lantai 4 Universitas Nasional (UNAS), Sabtu, (24/11).
Dalam sambutannya, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Dr. Zainul Djumadin M.Si. mengatakan bahwa dengan adanya kegiatan tersebut dapat membantu Universitas dalam akreditasi institusi. Dari kegiatan ini pula, para mahasiswa dapat menambah wawasan serta pengetahuan tentang manajemen perawatan.
“Saya mengapresiasi kegiatan yang digagas oleh HIMAKEP ini. Semoga kegiatan ini dapat memberikan manfaat bagi para mahasiswa,” ujar Zainul.
Bertindak sebagai narasumber, Ketua Bidang Pelayanan dan Diklat Himpunan perawat gawat darurat dan bencana Indonesia, Ns. Toto Suharyanto S.Kep., M.Kep. menjelaskan bahwa terdapat lima aspek mendasar dalam manajemen penanganan bencana. “Mitigasi, Kesiapsiagaan, Tanggap Darurat, Rehabilitasi, serta tindakan tenaga medis untuk menghentikan pendarahan dan lakukan perawatan,” katanya
Lebih lanjut, Ia mengungkapkan dalam penanganan bencana tenaga, medis perlu membekali diri dengan skill, mental, serta memahami manajemen siaga bencana. “Selain dituntut memiliki pengetahuan dan mental yang kuat, lebih dari itu, kemampuan tanggap bencana juga sangat dibutuhkan saat keadaan darurat,” ucap Toto. Hal ini, lanjut Toto, diharapkan menjadi bekal bagi perawat yang akan terjun ke lapangan memberikan pertolongan dalam situasi bencana.
Terkait dengan korban yang diprioritaskan untuk dilakukan perawatan, Toto menyebut ada tanda-tanda tertentu yang harus dipahami oleh perawat dalam memprioritaskan korban untuk dilakukan penanganan pertama. “Prioritas pertama adalah tanda merah yakni korban yang harus segera ditangani atau dalam keadaan kritis, dilanjutkan dengan tanda kuning yaitu korban yang mengalami patah tulang, kemudian tanda hijau yakni korban yang membutuhkan perawatan namun dapat ditunda, dan terakhir tanda hitam yang berarti korban sudah meninggal,” tandasnya.
Seminar ini turut dihadiri Ketua Program Studi Keperawatan Ns. Aisyiah, S.Kep., Sp.Kep.Kom, Kepala Biro Administrasi Kemahasiswaan Kamaruddin Salim, S.Sos., M.Si, dan dihadiri para tenaga medis Rumah Sakit maupun Klinik serta Universitas di Jakarta dan Padang. (*DMS).
Bagikan :