Jakarta (UNAS) – Pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta masyarakat lebih aktif dalam menyampaikan kritik dan masukkan terhadap kinerja-kinerja pemerintah, saat ini menjadi perhatian publik. Sedangkan, setidaknya sudah ada lebih dari 700 kasus yang terjerat oleh pasal karet Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sejak disahkannya pada tahun 2016.
Menurut Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional (Unas), Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, S.H., M.S., menjelaskan “istilah ‘pasal karet’ mengandung makna sebagai rumusan ketentuan dalam pasal yang bersifat multitafsir, tidak berkepastian hukum, dan berpotensi dapat disalahgunakan sesuai selera dan kepentingan kekuasaan” .
UU ITE sejatinya dibuat untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat di tengah perkembangan teknologi informasi dan transaksi elektronik. Namun tidak bisa dimungkiri ada sejumlah pasal yang bersifat multitafsir.
Tentu hal tersebut membuat masyarakat harus lebih berhati-hati atau memilih tidak mengutarakan pendapatnya, sedangkan hal tersebut dibutuhkan demi menjaga kondisi demokrasi di Indonesia tetap stabil.
“UU ITE yang memuat beberapa ‘pasal karet’ perlu diubah dan dirumuskan kembali sehingga memenuhi sifat lex scripta (hukum pidana tersebut harus tertulis), lex stricta (rumusan delik pidana itu harus jelas), dan lex certa (umusan pidana itu harus dimaknai tegas tanpa ada analogi) dengan melibatkan para stake holder,” tutur Prof. Basuki saat diwawancarai oleh Humas Unas pada Selasa (23/02).
Dalam berjalannya revisi tentu membutuhkan waktu untuk memastikan proses tersebut bergulir. Pemerintah juga membentuk tim untuk mengkaji ulang pasal karet UU ITE.
“Perubahan UU harus dengan UU. Jokowi sebagai Presiden tidak berwenang mengubah UU ITE tanpa melibatkan DPR. Presiden dan DPR melakukan perubahan secara bersama-sama atau melalui uji materi ke MK dengan alasan pasal karet bertentangan dengan UUD1945. Bergantung bagaimana putusan MK,” jelas Prof. Basuki.
Selama berjalannya proses revisi ini tentu tetap harus dikawal oleh stake holder terkait agar tidak terdapat pasal yang memiliki kemungkinan interpretasi ganda lagi. “Yang bisa dilakukan oleh civitas akademika melakukan kajian kritis dan memberikan masukan konstruktif kepada Presiden dan DPR,” tutup Prof. Basuki. (*ARS)
Bagikan :