Jakarta (UNAS)- Himpunan Mahasiswa Fisika (HIMAFI) UNAS bersama dengan Aliansi Institusi Pendidikan Fisika Medis Indonesia (AIPFMI) merayakan Hari Jadinya yang ke 7 dengan seminar, membahas tentang perkembangan kedokteran Nuklir di Indonesia pada Sabtu (8/01). Saat ini di Indonesia memiliki kurang lebih 627 fisikawan medis dan hanya sekitar 14 fisikawan yang menekuni bidang kedokteran nuklir.
Menurut ketua Aliansi Fisikawan Medik Indonesia (AFISMI) Supriyanto Ardjo Pawiro, Ph.D menyampaikan bahwa Indonesia masih kekurangan fisikawan medis. “Fisika medis adalah aplikasi dimana menggunakan ilmu fisika dalam bidang penanganan tritmen dan diagnosa pasien. Saat ini angka fisikawan medis terus bertambah namun masih jauh dari ideal, sehingga kami mohon kepada seluruh peserta seminar untuk sama-sama berjuang memenuhi tenaga fisika medis khususnya di luar jawa,” jelasnya dalam sambutan.
Sementara itu Rini sintawati, S.Si., MBS sebagai narasumber kegiatan menjelaskan nuklir di Indonesia diawali dari reaktor atom yang didirikan di Bandung pada tahun 1965 dan pelayanan kedokteran nuklir dimulai tahun 1967. “Tapi pada 1971 pelayanan kedokteran nuklir dipindahkan ke RSUP Dr. Hasan Sadikin yang merupakan rumah sakit pertama yang menggunakan pelayanan kedokteran nuklir,” terangnya.
Ia juga menambahkan dalam pelayanan kedokteran nuklir memiliki prosedur yang harus dilalui. “di kedokteran nuklir kita ada 3 layanan yaitu Imaging (In Vivo) untuk pelayanan diagnostik menggunakan kamera Gamma, Non Imaging (In Vitro) adalah pemeriksaan hormonal dimana sama dengan pemeriksaan laboratorium yang lainnya tetapi menggunakan radioaktif dalam pemeriksaan dan terakhir Terapi atau Ca Thyroid dan Paliatif Terapi. Di Indonesia terapi yang dilakukan masih dominan dengan penanganan kanker tiroid,” imbuhnya.
Peralatan yang digunakan dalam diagnosis saat ini adalah kamera gamma dengan teknologi positron emission tomography (PET) yang digabungkan dengan peralatan CT atau MRI sebagai pendukung khususnya untuk koreksi atenuasi dan penentuan lokasi lesi secara anatomi.
Rini juga menerangkan mengenai cara kerja radioaktif nuklir dalam pelayanan kedokteran nuklir. “Di kedokteran nuklir, radioaktif yang digunakan dilabel dengan farmaka, farmaka ini bertugas sebagai zat pembawa ke target organ. Radioaktif ini dapat digunakan sebagai penegak diagnosis dan terapi pasien,” ujarnya.
Disisi lain dalam kegiatan yang bertemakan “Euphoria of Remarkable Annyversary” narasumber Rudianto, S.Si. M.Si mengatakan fisikawan medis memiliki peran dan tanggung jawab yang besar. “Peran dan tanggung jawab fisikawan medis cukup banyak seperti Safety dalam melakukan diagnosa, Quality Assurance termasuk juga uji paparan, Management Planning dan Education Training terutama perlengkapan proteksi dan monitor radiasi juga harus tersedia,” terangnya.
Dalam materinya fisikawan medis rudianto juga selain menjelaskan mengenai tata laksana pengukuran pasien selama penanganan ia juga menjelaskan tentang catatan instruksi sebelum pasien dipulangkan. “Setelah rawat inap pasien yang menjalani terapi radioaktif diberi catatan instruksi berisi penjelasan secara detail apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam upaya mengurangi paparan dan kontaminasi terhadap lingkungan seperti menghindari kontak dengan Wanita hamil dan menjaga jarak dengan pengunjung dan tidak lebih dari 2 jam, tidak mengunjungi tempat umum atau menggunakan transportasi umum,” ungkapnya.
Selain itu, dalam sambutannya Dekan Fakultas Teknik dan Sains UNAS Novi Azman, S.T., M.T berharap dengan diadakan seminar kedokteran nuklir bisa melahirkan fisikawan terbaik dari Fakultas Teknik dan Sains untuk menjadi fisikawan medis. “Pada seminar kedokteran nuklir ini, saya harap bisa memotivasi mahasiswa FTS UNAS dan bisa melahirkan fisikawan terbaik sebagai fisikawan medis yang profesional,” pungkasnya. (*TIN)
Bagikan :