Jakarta (Unas) – Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Australia telah mengumumkan aliansi keamanan trilateral bagi Kawasan Indo-Pasifik dengan nama AUKUS. Keberadaan AUKUS ini menimbulkan kekhawatiran bagi Negara-Negara Asia, terutama Indonesia. Dalam menyikapi hal ini, Pemerintah Indonesia telah melayangkan berbagai respons sebagai strategi guna tingkatkan pemahaman AUKUS dan pertahanan udara Indonesia
Guna meningkatkan pemahaman akan hal tersebut, Center for Australian Studies (CFAS) Universitas Nasional (Unas) bekerja sama dengan Program Studi Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas lakukan seminar internasional, pada Selasa (07/12) secara daring dan luring di Menara Unas, Ragunan. Kegiatan ini mengundang akademisi, praktisi, serta masyarakat luas untuk berdikusi mengenai AUKUS dan kesiapan pertahanan udara di Indonesia.
Hadir sebagai pembicara, Indonesia Director The Australia-Indonesia Centre, Kevin Evans mengatakan, AUKUS fokus pada militer AS, Australia, dan Inggris. Ini merupakan pakta kerja sama serius yang bisa menimbulkan dampak signifikan terhadap geopolitik global, terutama di Kawasan Indo-Pasifik. Pakta ini meliputi elemen perang siber, kepintaran buatan, kemampuan bawah laut, serta teknologi nuklir yang kini menjadi perdebatan.
“ Melalui AUKUS ini Australia menjadi sorotan. Pakta ini menyebut Australia akan mendapat bantuan dari AS dan Inggris untuk mengembangkan kapal selam bertenaga nuklir. Menanggapi hal tersebut, sejumlah negara sekutu AS di Asia Tenggara mendukung kemitraan AUKUS, sementara beberapa lainnya menentang kesepakatan tersebut, ” paparnya.
Ia menambahkan, negara lain seperti Filipina menganggap AUKUS dapat mengimbangi kekuatan Tiongkok di Indo-Pasifik. Singapura menyambut baik janji Australia bahwa AUKUS dapat mempromosikan dan menjaga keamanan Asia Pasifik, Vietnam masih memantau perkembangan geopolitik di kawasan, sementara Indonesia dan Malaysia merasa khawatir rencana pembangunan kapal selam bertenaga nuklir dapat meningkatkan ketegangan di kawasan Indo-Pasifik, terutama soal perlombaan senjata.
Dalam paparannya, Dosen FISIP Unas, Dr. Robi Nurhadi, S.IP. M.Si., juga mengatakan, kehadiran pakta AUKUS memberikan dampak bagi Australia, Indonesia, dan Asia Tenggara. Menurutnya, dampak tersebut meliputi peningkatan ancaman keamanan bagi Australia, peningkatan kebisingan kawasan bagi Asia Tenggara, serta berpotensi menjadi medan pertempuran AUKUS versus China bagi Indonesia.
“ AUKUS juga memberikan dampak pada masa depan hubungan bilateral Indonesia-Australia. Tuntutan netralitas Indonesia dan pengamanan wilayahnya menyalakan diplomasi lampu kuning terhadap Australia. Sementaara diplomasi lampu merah juga berpotensi terjadi apabila adanya keteledoran Australia, dan pada saat yang sama pengaruh China akan menguat di Indonesia, ” jelasnya.
Robi melanjutkan, menanggapi polemik AUKUS ini, pemerintah perlu menata kembali masa depan Indo-Pasifik. Dalam hal ini, Robi mengatakan AUKUS dapat bertransformasi dari pakta pertahanan menjadi pakta perdamaian. Indonesia dan ASEAN juga dapat menjadi pilar perdamaian yang berperan aktif menginisiasi perdamaian.
Dalam kesempatan yang sama, Prof. Richard Chauvel dari University of Melbourne mengatakan, AUKUS sebagai langkah awal berfokus pada pembangunan kapal selam bertenaga nuklir untuk angkatan laut Australia. Artinya, negara Kangguru ini akan menjadi negara ketujuh di dunia yang mengoperasikan kapal selam nuklir.
“ Teknologi ini juga akan memungkinkan Australia memiliki kapal selam yang lebih maju dan cepat dibandingkan kapal selam sebelumnya. Diantara bidang pakta kerja sama AUKUS dengan AS dan Inggris, kapal selam bertenaga nuklir adalah kunci yang menyebabkan permasalahan negara-negara di ASEAN,” tuturnya.
Lebih lanjut, Ia mengatakan, sebagai negara sahabat, Indonesia menjadi negara pertama di kawasan yang mengingatkan Australia untuk tetap melakukan kewajibannya guna menjaga perdamaian dan keamanan. Saat ini pun hubungan bilateral diantara kedua negara tersebut berlangsung baik.
Di sisi lain, Chairman Pusat Studi Air Power Indonesia, Marsekal (Purn) Chappy Hakim mengatakan, kekhawatiran Indonesia mengenai AUKUS mengingatkan kembali mengenai pentingnya memperkuat pertahanan negara. Pertahanan tersebut semata-mata tidak hanya dilaut dan darat. Namun juga udara.
“ Meskipun domain udara adalah hal yang baru di Indonesia, tetapi kemajuan teknologi udara seperti pesawat terbang, sangat berkembang pesat. Orang sudah berhasil memproduksi pesawat yang kecepatannya 3 kali lebih cepat dibandingkan kecepatan suara. Ini sangat berkaitan dengan pertahanan udara dan medan perang, ” ungkapnya.
Chappy melanjutkan, ketika domain udara sudah bisa dijadikan sebagai wilayah perang, maka hal ini sangat mengancam negara karena domain udara tidak terbatas wilayah. “ Udara itu domain yang istimewa, tidak ada batas garis depan dan belakang. Ancaman bisa datang dari mana saja dan meluas, ” katanya.
Mengingat posisi Indonesia yang strategis, tambah Chappy, pertahanan negara di wilayah udara tidak sederhana seperti domain darat dan laut. Untuk saat ini, AUKUS belum berpengaruh terhadap kedaulatan wilayah Indonesia. Namun, pemerintah perlu mendiskusikannya secara serius dan mengambil langkah strategis untuk memastikan Indonesia aman dari ancaman.
Dalam kesempatan ini, Chappy juga memberikan hibah buku dengan judul ” Tanah Air dan Udaraku Indonesia ” . Melalui buku ini, Ia berharap, masyarakat dapat menyadari bahwa tidak hanya tanah dan air yang perlu dilindungi, tetapi juga udara di Indonesia.
Sementara itu, Dekan FISIP Unas, Dr. Erna Ermawati Chotim, M.Si., dalam sambutannya mengatakan, seminar Internasional ini tidak hanya bertujuan sebagai media bertukar pandangan dan pemikiran, tetapi juga bisa menghasilkan analisis yang tajam dalam konteks pertahanan Indonesia saat ini.
“ Sebagai warga negara yang baik, saya rasa penting untuk kita membangun pemahaman keamanan wilayah teritorial Indonesia. Kesadaran pertahanan semata-mata bukan tanggung jawab pemerintah, tetapi juga pihak lainnya yakni koorporasi, akademisi, dan masyarakat umum, ” tegasnya.
Kegiatan ini dimoderatori oleh Researcher CFAS Unas, Rizki Marman Saputra, M.Si. Turut hadir dalam kegiatan Ketua Program Studi Hubungan Internasional, Dr. Irma Indrayani, S.IP., M.Si., Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Administrasi Umum FISIP Unas, Dr. Aos Yuli Firdaus, S.IP., M.Si., Kepala CFAS Unas, Harry Darmawan M.Si, serta pengurus CFAS Unas. (NIS)
Bagikan :