Jakarta (Unas) – Perkembangan politik terkini di Kawasan Asia telah menarik para ilmuan, pemerhati dan mahasiswa hubungan internasional di Indonesia. Guna mengembangkan pemikiran tersebut, Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nasional (Unas) bekerja sama dengan Pusat Kajian Sosial dan Politik (PKSP) Unas gelar Seminar Internasional, pada Rabu (07/04).
Bertajuk ‘Political Islam In Asia Between Constitution And Implementation’ kegiatan ini menghadirkan pakar dan pemerhati internasional yang membahas isu politik Islam dari perspektif hubungan internasional. Adapun pakar tersebut ialah Profesor Shaikh Ahmed Tamim President Islamic University of Ukraine, Profesor Dr. Makmor Tumin dari Universiti Malaya, dan Dr. Robi Nurhadi, Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP Unas.
Hadir sebagai pembicara pertama, Ilmuwan Politik Fakultas Ekonomi dan Administrasi University of Malaya, Prof. Madya Dr. Makmor Tumin mengatakan, belakangan ini, pemahaman mengenai politik Islam banyak beriorientasi isu terorisme dan kejahatan. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran dari pakar keamanan internasional.
“Jika melihat kaitan antara politik dan islam saat ini banyak kesalahpahaman yang sangat besar. Gerakan islam secara internasional banyak dipandang sebagai ancaman bagi dunia Barat terutama aksi terorisme. Oleh sebab itu, hal ini mengundang para pakar dengan pemikiran yang efektif untuk mengambil langkah dalam investigasi terhadap isu tersebut khususnya di era disruptif ini,” ujarnya.
Dalam paparannya, Makmor Tumin juga menjelaskan berbagai tantangan yang dihadapi dari perkembangan berbagai model gerakan. Ia juga menjelaskan mengenai pencarian identitas dari berbagai gerakan Islam tersebut.
Di sisi lain, President Islamic University, Ukraine Prof. Sheikh Ahmad Tamim banyak mengulas tentang bagaimana Islam berkembang di Uzbekistan dan empat negara lainnya di kawasan Asia Tengah, juga pengaruhnya terhadap gerakan politik Islam di sana.
Ia juga mengatakan gerakan Islam sering dicirikan sebagai anti-modern atau didorong oleh ideologi pramodern yang mengancam gaya hidup barat. Namun, lanjutnya, gerakan tersebut merupakan respons terhadap kondisi sosial ekonomi dan politik yang diperburuk oleh urbanisasi yang cepat dan kekuatan globalisasi ekonomi di banyak negara muslim, seperti Arab, dan non-Arab, terutama Asia. “Fenomena ini bergantung pada beberapa faktor, misalnya seperti geografi, sejarah, dan ukuran komunitas muslim,” imbuhnya.
Sementara itu, Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP Unas, Dr. Robi Nurhadi melihat adanya dilema yang dihadapi oleh negara-negara di kawasan Asia Tengah, seperti Kazakstan, Kirgistan, Turkmenistan, Tajikistan dan Uzbekistan. Robi melihat kawasan ini memiliki tiga ciri, yaitu jalur sutra yang strategis, sumberdaya alam seperti emas, perak yang melimpah, dan penduduk mayoritas Muslim.
Namun, tambah Robi, kawasan ini juga dihadapkan pada tiga tantangan yaitu pengaruh tiga negara besar dengan tiga ideologi yang berbeda, yaitu Rusia dan Cina dengan komunismenya, Iran dengan Syiahnya, dan Amerika Serikat serta negara-negara Barat dengan liberalismenya. Robi melihat bahwa umumnya negara-negara ini memilih mengakomodasi liberalisme dalam praktek berpolitik dan beragama. Proses akomodasi politik liberal ini telah memancing lahirnya kelompok radikal, ekstrimis bahkan terorisme.
Karena itu, menurut Robi, konstitusi negara-negara kawasan Asia Tengah menjamin kebebasan beragama untuk semua pemeluk agama. Dinamika politik Islam lebih banyak ditentukan oleh siapa yang menjadi sosok Presidennya karena konstitusi memberi kekuasaan eksekutif yang lebih besar (executive heavy) dibanding legislatif yang umumnya menerapkan sistem bikameral.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian (P3M) Sekolah Pascasarjana Unas tersebut menambahkan bahwa politik akomodatif di negara-negara mayoritas Muslim tidak hanya terjadi di Asia Tengah melainkan di berbagai kawasan Asia lainnya, seperti di Turki, Malaysia dan Indonesia.
Dihelat secara virtual, seminar Internasional ini juga merupakan wadah berbagi pemikiran tentang Politik Islam di Asia di kalangan cendikiawan, praktisi, birokrat, dan masyarakat sipil. Kegiatan ini diikuti sekitar 100 peserta yang terdiri dari profesor, peneliti, dan mahasiswa, serta turut dihadiri oleh Ketua Prodi Hubungan Internasional Unas, Dr. Irma Indrayani, M.Si. dan jajaran dosen dari FISIP Unas. (NIS)
Bagikan :