Turut hadir dalam diskusi tersebut sebagai narasumber ialah Beka Ulung Hapsara yang menjabat sebagai Komisioner Komnas HAM, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Atnike Nova Sigiro, Ketua Program Studi Magister Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana UNAS, Dr. M. Alfan Alfian Mahyudin, M.Si., serta Kepala Program Studi Sosiologi FISIP UNAS, Dr. Erna Ermawati Chotim, M.Si.
Dalam paparannya, Beka mengatakan, hingga saat ini penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masih jauh dari harapan publik dan korban meski rezim terus berganti. Kondisi tersebut, lanjutnya, menyebabkan korban dan keluarganya terus mempertanyakan komitmen Negara atas pemenuhan HAM.
“Dalam situasi seperti ini, Komnas HAM sebagai penyidik kasus pelanggaran HAM berupaya untuk mencari perhatian dan dukungan publik dalam penyelesaiann pelanggaran HAM,” ujarnya. Menurutnya, penyelesaian itu tidak hanya melibatkan elemen dari pemerintah, tetapi juga bentuk partisipasi masyarakat.
Oleh karena itu, Komnas HAM berinisiatif melakukan rangkaian kegiatan publik yang diharapkan mampu mencapai hal tersebut, salah satunya adalah dengan rangkaian diskusi publik yang bekerja sama dengan berbagai universitas di Indonesia. Hal ini juga, tambah Beka, didasari oleh minimnya pengetahuan publik mengenai mekanisme penyelesaian kasus HAM.
“Karena penyelesaian kasus tanpa adanya partisipasi publik juga akan berjalan ditempat. Jadi penting sekali untuk mendiskusikan solusi yang paling baik dan realistis sehingga kedepannya korban bisa mendapat keadilan yang seadil adilnya”, katanya. Beka juga menimpal, bahwa kegiatan ini juga mencoba mengingatkan kembali pada problem HAM yang belum tertuntaskan yang sudah hampir hilang dari media bahkan memori publik.
Senada dalam hal itu, Alfan Alfian mengatakan bahwa perlu adanya langkah-langkah yang terus menerus dilakukan seperti, sosialisasi tentang pentingnya pelenyelesaian kasus HAM masa lalu di kampus-kampus sehingga menjadi kesadaran bersama. “Apalagi belakangan ini mata kuliah kekuatan-kekuatan politik itu semakin bertambah, contohnya di prodi Ilmu Politik ada mata kuliah HAM dan Politik, ini juga semakin berhubugan dan menarik untuk menjadi bahasan lebih lanjut,” imbuhnya.
Sebagai pengamat dan ahli dalam bidang politik, Alfian juga menuturkan bahwa satu hal yang penting dalam pelanggaran HAM berat ialah mengenai dimensi korban yang terlupakan. “Selama ini hanya fokus ke penyelesaiannya saja, padahal ada dimensi korban yang juga penting, karena ada beberapa korban yang merasa terdiskriminasi,” terangnya.
Dalam kesempatan yang sama pula, Atnike menuturkan, dalam seluruh kasus pelanggaran HAM yang paling merasakan dampak adalah korban. Korban juga pantas untuk memiliki hak atas keadilan, hak mendapatkan bukti siapa yang bertanggung jawab, hak atas kebenaran mengapa ia menjadi korban dan yang lainnya. “Tidak hanya itu, ada juga hak pemulihan yang bersifat materi, psiologis, dan sosial. Serta berhak untuk mendapatkan kepastian pencegahan keberulangan,” tandasnya.
Menjadi pembicara terakhir dalam diskusi ini, Erna menuturkan bahwa perjalanan pemerintah terkait dengan komitmen penyelesaian kasus HAM berat menunjukkan progres yang positif. Namun, hingga saat ini masih dinamisnya dinamika sosial politik dalam masyarakat sehingga banyak munculnya kasus-kasus baru mengenai pelanggaran HAM di Indonesia. Hal itu juga sedang dalam penanganan oleh pemerintah.
“Makanya kasus-kasus yang lama banyak yang belum tuntas dikarenakan munculnya kasus-kasus baru, dan ini menekankan bahwa penyelesaian secara yudisial itu penting,” jelasnya. Erna yang juga dosen sosiologi itu berharap, pemerintah dengan publik bisa bersinergi untuk memberikan solusi dan keadilan mengenai kasus pelanggaran HAM berat.(*NIS)