Peluncuran Pusat Kajian Bioteknologi ini dilaksanakan di sela-sela Seminar Bioteknologi yang membahas tentang status kesiapan Indonesia terhadap tanaman Bioteknologi. Seminar ini dilaksanakan oleh Biotechnology Student Forum (BIOSFOR) yang melibatkan pemerintah, praktisi, peneliti dan petani.
Jakarta (UNAS) – Melihat perkembangan teknologi biotek (bioteknologi) yang semakin pesat, Universitas Nasional, Kamis (14/1) meluncurkan Pusat Kajian Bioteknologi. Pusat kajian ini diharapkan dapat menjadi wadah kegiatan tidak hanya para dosen namun juga mahasiswa di bidang bioteknologi dan memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat.
‘’ Pusat Kajian ini akan menjadi Centre of Excellence dari Universitas Nasional. Saat ini kami memiliki paling tidak tiga fakultas yang terkait bioteknologi yaitu Fakultas Biologi, Pertanian dan Kesehatan. Jadi kita mempunyai kompetensi tersebut dan akan terus kita kembangkan agar dapat leading di bidang ini,’’ ungkap Wakil Rektor Bidang Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat dan Kerjasama Universitas Nasional, Prof. Ernawati Sinaga.
Ia menambahkan perkembangan teknologi khususnya di bidang bioteknologi tidak dapat dibendung. Teknologi ini telah berkembang sejak 30 tahun lalu, namun di Indonesia baru mulai dikenal sejak 15 tahun lalu. Indonesia, mau tidak mau harus dapat menerima teknologi ini di negaranya.
Untuk membahas tentang kesiapan Indonesia terhadap bioteknologi, pada kesempatan yang sama Biotechnology Student Forum (BIOSFOR) Fakultas Biologi Universitas Nasional menggelar seminar bioteknologi dengan tema Status Indonesia Terkini Menghadapi Komersialisasi Tanaman Bioteknologi, Kamis (14/1). Seminar ini turut menghadirkan Ketua Komisi Keamanan Hayati, Prof. Agus Pakpahan, Praktisi industri benih Herry Krisnanto, Ketua Kontak Tani Andalan (KTNA), Winarno Thohir, dan Prof. Dr. Bambang Sugiharto, Peneliti PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI sebagai pembicara.
Kepala Pusat Kajian Bioteknologi Universitas Nasional, Dr. Retno Widowati mengungkapkan kesadaran komersialisasi tanaman bioteknologi di negara berkembang semakin tinggi. Hal ini terlihat dari meningkatnya lahan tanaman bioteknologi di negara berkembang saat ini. Luas lahan tanaman biologi telah meningkat 100 kali lipat dari 1,7 juta hektar di tahun 1996 menjadi 181,5 juta hektar di tahun 2014. Sementara jumlah negara penanam tanaman biotek meningkat 4 kali lipat lebih dari 6 negara di tahun 1996 menjadi 28 negara di tahun 2014.
Menurut Retno, saat ini Amerika Serikat (AS) masih menempati negara teratas yang menanam tanaham bioteknologi dengan luas 73,1 juta hektar atau 40 % luas lahan tanaman bioteknologi di dunia. AS mengadopsi tanaman bioteknologi terbanyak pada jagung (93%), kedelai (94%) dan kapas (96%). Negara berkembang seperti Brazil, lanjutnya bahkan mencetak rekor baru di tahun 2014 dengan peningkatan luasan tanaman biotek sekitar 1,9 juta hektar dari tahun 2013, menduduki peringkat kedua selama enam tahun berturut-turut di bawah AS. Sementara negara miskin Bangladesh, telah menyetujui komersialisasi Terong Bt Brinjal pada 30 Oktober 2013 dan berselang kurang dari 100 hari setelah persetujuan, para petani kecil menanam Terong Bt pada 22 Januari 2014. Sedangkan India mencatat 11,6 juta hektar lahan tanaman bioteknologi dan memiliki laju adopsi 95% untuk kapas bioteknologi. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
‘’Di Indonesia sendiri, beberapa institusi penelitian telah mengembangkan tanaman bioteknologi. Namun upaya penamaman tanaman bioteknologi secara komersial saat ini sedang menjalani pengkajian keamanan hayati yang dilakukan oleh Komisi Keamanan Hayati beserta tim teknisnya. Pemerintah memang sangat berhati-hati untuk masalah ini, karena sekali sudah dilepas, maka tidak dapat ditarik kembali. Namun, status ini penting untuk para peneliti, karena pasti peneliti akan lebih bergairah jika ada kejelasan tentang masa depan bioteknologi di Indonesia,’’ ungkapnya.
Kejelasan status ini juga ditunggu oleh para petani. Ketua Kontak Tani Andalan (KTNA), Winarno Thohir mengatakan petani tengah menunggu political will dari pemerintah terkait tanaman bioteknologi ini.
‘’Petani sangat berharap bioteknologi bisa diterapkan di Indonesia. Untuk menjaga kedaulatan pangan, Indonesia memerlukan Gen(etic) Revolution, karena lahan yang tersedia hanya lahan-lahan marjinal dan ekstensifikasi sudah tidak memungkinkan lagi. Petani Indonesia menunggu political will dari pemerintah untuk dapat segera menyetujui adopsi benih bioteknologi di Indonesia,’’ tegasnya.
Pasalnya, lanjut Winarno, bioteknologi merupakan inovasi yang mempunyai kemampuan untuk mengatasi perubahan iklim. Teknologi bioteknologi bisa dirakit sesuai kebutuhan petani dan dirakit kandungan nutrisinya agar lebih baik, umur pendek dan mengurangi pupuk kimia dan mengurangi pestisida.
Sedangkan Herry Krisnanto, praktisi industri benih melihat bioteknologi sebagai solusi terhadap keamanan pangan. Pasalnya kebutuhan pangan dunia akan meningkat sebesar 70 persen di masa mendatang. Karena populasi penduduk dunia terus bertambah.
‘’Perlu adanya peningkatan produksi tanaman pangan hingga 90 persen dengan cara meningkatkan intensitas produksi lahan antara lain melalui peningkatan jumlah dan kualitas benih,’’ papar Corporate Engagement Lead Monsanto Indonesia ini.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Komisi Keamanan Hayati, Prof. Agus Pakpahan mengungkapkan Indonesia melihat bioteknologi tidak hanya sebagai salah satu instrumen strategis untuk masa depan keamanan pangan dan keberlanjutan lingkungan namun juga solusi tepat untuk Negleted Tropical Diseases (NTD) atau penyakit endemic antara lain seperti deman berdarah dan kaki gajah.
Bagikan :