Jakarta (UNAS) – Pesatnya perkembangan wisata berbasis komunitas (Community Based Tourism (CBT)) akan berdampak positif pada industri ekowisata di Tanah Air. CBT sendiri merupakan program ekowisata yang dikembangkan oleh komunitas-komunitas lokal yang harus didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Non-Governmental Organizations (NGOs).
Assoc. Prof. Ignatius Cahyanto dari University of Louisiana Amerika Serikat menyampaikan bahwa program CBT dapat mendukung program eco wisata yang sedang digalakkan oleh pemerintah. Program ini juga bisa meningkatkan pendapatan masyarakat lokal. Hal ini, sesuai dengan tren pariwisata dunia sendiri saat ini adalah meningkatkan kepedulian terhadap keberlangsungan obyek wisata sendiri dan meminimalkan ekses negatifnya dengan konsep sustainable tourism dan ecotourism yang menyatukan pelestarian lingkungan alam, komunitas dan meningkatkan kesejahteraannya.
Agar CBT dapat sukses di Indonesia, Ignatius menyebut terdapat empat area yang harus ada di wilayah penerapan CBT yaitu adanya kerangka kebijakan nasional yang memungkinkan untuk diimplementasikan secara efektif. Kedua, ‘positioning’ dan ‘branding’ atau re-branding usaha pariwisata sebagai tanggung jawab lingkungan dan sosial. Ketiga, tersedianya bantuan teknis dan finansial untuk pengembangan CBT, dan keempat adalah tingkat kewirausahaan lokal dan/atau kepemimpinan dalam masyarakat
“Empat hal itu, menurut saya sangat penting dan itu yang sangat perlu tanpa hal itu CBT di Indonesia sangat sulit berkembang,” ujar Assoc , Prof.Ignatius Cahyanto dalam Webinar Lecture Series “Sustainable Community-Based Tourism (CBT) in Indonesia” yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional (Unas) pada Senin, (9/8).
Ia melanjutkan, bahwa dengan adanya pandemi ini ada tren perilaku yang berubah dalam pariwisata. Menurutnya, wisatawan di masa pandemi lebih menyukai destinasi alam dan mengutamakan keamanan dan kesehatan. Selain itu, adanya perkembangan teknologi seperti digitalisasi dan inovasi yang dapat memudahkan wisatawan dalam mengakses segala informasi serta faktor lingkungan tempat wisata.
Dengan terjadinya perubahan perilaku wisatawan, lanjut Ignatius, ini merupakan kesempatan CBT untuk berkembang dan ini kesempatan besar CBT dapat dikembangkan. “Melihat dari negara-negara yang telah berhasil mengembangkan CBT dapat dicontoh bahwa dalam mengembangkan CBT adanya akses ke pasar, kelangsungan komersial yang didukung kemampuan wirausaha, kerangka kebijakan dan harus melihat tantangan yang ada di masyarakat lokal,” jelasnya.
Sementara itu, Sekretaris Kerjasama, Kemitraan Strategis dan Pengembangan Bisnis Fakultas Ekonomi dan Bisnis Bagus Syarifuddin, S.H., M.H. mengatakan bahwa pariwisata merupakan produk unggulan di luar devisa.
“Jadi pariwisata ini merupakan produk primadona pemerintah yang mungkin kedepannya setelah pandemi ini kita semua bersama-sama akan membangkitkan dunia pariwisata baik dari segi hospitality, destinasi maupun event,” ungkap Bagus dalam sambutannya.
Acara yang di moderatori oleh Ketua Program Studi Pariwisata Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unas Dr. (c) Ramang H. Demolingo, S.S., M.Par. ini turut dihadiri oleh para dosen dan mahasiswa di lingkungan program studi pariwisata. (*DMS)
Bagikan :